Budaya dan Warisan

Membangun Desa dengan Kemandirian dan Kewilayahan

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Sebuah desa punya potensi masing-masing, ia adalah lembaga yang sudah memiliki kelengkapan sehingga mampu berdiri di atas kakinya sendiri (Lestary & Hadi, 2021). Kata-kata ini menunjukkan bahwa sebetulnya sebuah desa, sebagai institusi pemerintahan terendah sejatinya sengaja dibentuk dan dibangun oleh masyarakat karena memang sudah dianggap mampu dan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

Dalam tatanan pemerintahan Indonesia, keberadaan desa sudah jauh sebelum Indonesia ada. Di berbagai daerah terdapat nama-nama tersendiri seperti Nagari di Sumatera Barat, Huta di Sumatera Utara, Gampong di Aceh, Subak di Bali, dan sebutan lainnya. Istilah desa adalah unit pemerintahan yang ada di Jawa yang kemudian dijadikan sebagai penyebutan untuk wilayah lain (Yenrizal, 2023). Kebijakan dalam UU no. 5/1974 dan UU no. 5/1979 adalah cikal bakal penyeragaman ini. Setelah reformasi bergulir di 1998, barulah nama-nama tersebut dikembalikan ke daerah masing-masing.

Hakekatnya, desa atau sebutan lain adalah wilayah hukum yang memang memiliki kelengkapan perangkat, baik struktur pemerintahan maupun struktur sosial budaya yang menjamin keterlaksanaan tatanan kehidupan sosial budaya dan ekonomi. Dengan kata lain, desa sebenarnya adalah otonom, punya kemampuan dan potensi sendiri-sendiri.

Berkaca pada hal itu, maka sejatinya desa-desa di Indonesia adalah wilayah yang mandiri dan berdaulat atas pelaksanaan pembangunan didaerahnya masing-masing. Bukankah desa memiliki kekayaan masing-masing, entah itu berupa pasar desa, lahan pertanian, perikanan, persawahan, dan sebagainya. Memang setiap desa bisa saja bervariasi potensi yang dimiliki, tetapi mereka telah punya sesuai karakteristiknya.

Apabila kemudian desa-desa di Indonesia identik dengan ketertinggalan, ketergantungan, keterisoliran, saya rasa itu hanya satu dari sekian banyak desa yang sebetulnya sudah sangat mandiri. Bisa juga karena opini yang berkembang yang mungkin lebih banyak sisi kepentingan tertentu untuk politisasi kehidupan di desa. Apapun itu, kita percaya bahwa di desa semua bermula dan di desa ada potensi serta kemandirian.

Sebuah liputan dari situs berita Mongabay menunjukkan kasus di Desa Gelebak Dalam, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, dimana desa ini berjuang dan kemudian mampu menunjukkan kemandirian, secara perlahan-lahan ingin tidak tergantung pada kucuran dana desa (https://www.mongabay.co.id/2019/02/07). Desa yang sebelumnya terkenal dengan sentra api saat musim kemarau, sekarang mampu tampil sebagai desa dengan zero fire. Kehidupan ekonomi desa juga terus bergeliat dan berbagai potensi termasuk pengembangan sektor agrowisata jadi prioritas.

Begitu juga yang terjadi di Desa Huntu Selatan dan Desa Lamahu di Gorontalo (https://www.mongabay.co.id/2021/06/07), yang mampu menunjukkan kemandirian dan kebangkitan potensi melalui desa wisata serta pengembangan potensi energi. Hal sama juga bisa dilihat di Desa Kamanggih, Sumba Timur yang mampu menunjukkan kemandirian sektor energi dengan memanfaatkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Kata kunci dari keberhasilan semua desa tersebut adalah kejelian melihat potensi, inovatif, membangun jejaring, dan terbuka dengan teknologi tepat guna. Terkadang kemampuan dalam melihat semua ini ditentukan oleh elit desa (perangkat desa) yang mampu mendorong perubahan. Di lain sisi, karena memang ada kelompok-kelompok tertentu yang begitu sensitif dalam melihat semua peluang. Apapun itu, semua kata kunci di atas memang harus ada di desa dan itulah yang membuatnya bisa bergerak maju.

Kejelian melihat potensi misalnya, ini adalah sisi paling awal. Setiap desa punya potensi, itu keyakinan. Tetapi tidak semua orang paham bahwa itu adalah potensi. Sebagai contoh di Desa Gelebak Dalam, di daerah ini banyak lahan kosong berupa rawa-rawa mineral dan sebagian gambut dangkal. Awalnya ini susah dimanfaatkan karena kondisi lahan dan kemampuan masyarakat yang terbatas. Di musim kemarau selalu menjadi sumber api.

Apabila lahan itu dianggap sebagai lahan terlantar saja, maka ia akan selalu mendatangkan masalah. Tetapi ketika itu di pandang sebagai potensi besar, maka segala upaya bisa dilakukan. Itulah yang kemudian terjadi, perangkat desa memahami ini potensi, tetapi ada keterbatasan untuk mengolahnya.

Setelah keyakinan itu tumbuh, maka inovasi harus diterapkan. Inovasi secara gagasan dan berlanjut pada tindakan praktis. Berbagai metode mulai ditawarkan dan diterapkan. Ada yang gagal tapi keberhasilan sudah mulai terlihat.

Perangkat desa harus membangun jejaring, karena mengembangkan potensi desa dengan tantangan berupa kondisi alam, mau tidak mau harus berkolaborasi dengan pihak luar yang lebih ahli dan punya sumber daya. Hasil kolaborasi jejaring dihadirkanlah berbagai teknologi termasuk alat berat untuk pengolahan lahan dan mekanisasi alat pertanian. Dalam hal ini, perangkat desa dan unsur masyarakat sangat terbuka dengan kehadiran berbagai teknologi terapan. Desa inipun sukses dan kemudian bahkan didapuk sebagai desa Laboratorium Ekologi bagi beberapa perguruan tinggi untuk belajar cara bertani dan mengelola lahan.

Gagasan desa mandiri memang bukanlah desa yang mampu mengurus dan mengelola semua hal oleh mereka sendiri, tetapi desa yang mampu membangun jejaring dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak. Jaringan sosial harus dibangun karena tidak ada sebuah wilayah yang mampu hidup tanpa berjejaring, pasti terhubung dengan pihak lain. Jejaring sosial pada dasarnya adalah sebuah kekuatan (Liu et al., 2017). Oleh karena itu, kemandirian sebuah desa akan terbantu dan diperkuat oleh jejaring yang dimilikinya.

Pada posisi ini, TNI sejatinya adalah salah satu mata rantai dari jejaring yang terbangun di pedesaan. Ini menjadi sebuah keharusan karena melalui semangat Sishankamrata, TNI juga memandang bahwa masyarakat pedesaanpun adalah jejaring kekuatan yang harus didekati dan dibina hubungannya. Ketahanan sosial masyarakat pedesaan pasti berhubungan dengan ketahanan bernegara secara keseluruhan. Oleh sebab itu, menjadi sangat wajar dan sudah seharusnya bila TNI  selalu terlibat dalam berbagai aktifitas masyarakat pedesaan. Bukan ingin mengintervensi tugas dan kewenangan aparat pemerintah setempat, tapi bagian dari memperkuat basis pertahanan. Desa adalah basis dasar Sishankamrata.

Terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh desa, TNI akan menjadi pihak yang melakukan dinamisator sekaligus menerapkan dan memprakekkan berbagai inovasi yang sudah dimiliki. Fakta itulah yang terjadi di beberapa wilayah, seperti Gelebak Dalam di Sumatera Selatan, kawasan Pantai Selatan Jawa Barat, Pulau Mentawai di Sumatera Barat dan berbagai daerah lainnya. Ragam inovasi dan teknologi dipraktekkan, seperti mesin penjernih air yang mampu mengolah air laut menjadi air siap minum, mesin pembuat es batu, mesin pengolah garam, dan sebagainya. Teknologi terapan, yang belum merata dikenal masyarakat, berhasil di intervensi.

Intervensi dan kolaborasi ini tentu saja memiliki perbedaan dengan pendekatan-pendekatan yang diterapkan sektor swasta yang lebih menekankan sisi ekonomi. Dalam konteks ini sangat diperlukan kehati-hatian dan komitmen yang kuat pada semua level bahwa kolaborasi adalah untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Sasaran akhir adalah terwujudnya desa mandiri dan berdaulat.

Semangat berbagi adalah semangat yang dikembangkan, bukan semangat “menguasai”. Sisi ini yang perlu sekali diperhatikan, karena berbagai fakta menunjukkan dominannya semangat “menguasai”, berdampak pada kegagalan dalam membangun kemandirian. Alih-alih mandiri, yang terjadi justru ketergantungan dan keterasingan, bersisian pula dengan ketidakadilan. Pemberdayaan dengan menerapkan kolaborasi justru menciptakan dominasi baru, dan membangun bibit-bibit konflik dengan masyarakat setempat. Konflik desa dengan perusahaan adalah bukti konkrit kegagalan dalam memahami esensi berbagi, bukan menguasai.

Apapun itu mewujudkan desa yang mandiri dan berdaulat, tidak bisa berjalan sendiri, harus berkolaborasi, dan TNI sudah membuka ruang-ruang tersebut. Kehadiran berbagai Komando Kewilayahan kemudian menjadi “tangan-tangan” yang langsung berjabatan dengan masyarakat di tingkat tapak. Tidak untuk melakukan militerisasi, tapi justru kolaborasi untuk memperkuat basis pertahanan.

Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di www.kompas.com tanggal 6 Maret 2024

 

Scroll to Top