Oleh : Kunto Arief Wibowo
(Inovasi Rakyat). Tuntutan reformasi sektor pertahanan di Indonesia terus digemakan. Tuntutan ini bahkan menjadi bagian dari tuntutan reformasi 1998. Beberapa adalah profesionalitas TNI, netralitas TNI dalam politik, serta larangan TNI mendudukinya jabatan sipil. Seiring waktu, semua terus berproses, walaupun berbagai kendala harus diakui masih ditemukan (Bhakti, 2009). TNI sebagai alat pertahanan negara tunduk kepada segenap aturan yang sudah ditetapkan untuk menjamin reformasi tersebut.
Berdasarkan regulasi yang ada, termasuk kebijakan sistem pertahanan negara Indonesia yang dikenal dengan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), komitmen TNI hanya satu, memperkuat sektor pertahanan negara di semua sisi. Bersiap-siap dan selalu siaga terhadap segala ancaman yang akan merongrong kedaulatan Indonesia. Itu saja.
Patut dipahami bersama ancaman negara bukan semata-mata ancaman militer seperti senjata, peluru kendali, meriam, tank dan sebagainya. Pada UU No. 3 Tahun 2002, ini sudah termaktub dimana aspek pertahanan negara juga mencakup wilayah non militer. Tidak bisa dipisahkan hanya sisi kelengkapan militer semata, tapi harus ada sinergi dengan unsur lain seperti soal ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lingkungan. Harus ada interkoneksi dan interopabiliti dengan semua sektor.
Ancaman bernegara yang serius sekarang ini adalah proxy war yang berkolaborasi dengan metode-metode hybrid. AS disinyalir adalah negara yang paling banyak menggunakan metode proxy, memanfaatkan pihak ketiga untuk melemahkan musuh. Sejak Perang Vietnam silam sampai sekarang, indikasi itu tetap muncul (www.kompas.com, 02/03/2023).
Pada era teknologi informasi, serangan cyber menjadi ancaman nyata sebagai bagian dari proxy war yang dijalankan oleh sebuah negara. Sulit dilihat langsung tetapi memiliki efek signifikan bagi pelemahan sebuah negara. Belakangan metode-metode cyber dengan mengandalkan kekuatan hackers semakin menguat (Akoto, 2022). Termasuk juga yang mengintervensi tidak langsung pada tataran pola pikir dan gaya hidup masyarakat.
Indonesia tidak bisa lepas dari hal itu. Sebagai negara dengan sejuta daya tarik pemikat, serangan-serangan model tidak kasat mata, akan selalu datang. Pola proxy war dengan memanfaatkan keragaman yang ada (seperti gerakan separatis, tindakan anarkis antar penduduk, kekerasan antar agama dan suku, terorisme) kerap mengancam. Berbagai fakta belakangan ini mengindikasikan bahwa sebuah peristiwa tidak akan berdiri sendiri, tapi terhubung dengan unsur lain.
Proxy war bukan lagi menyasar kekuatan militer, tapi justru pada pondasi pertahanan itu sendiri, yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya pada level masyarakat. Wilayah ini sering jadi bancakan karena karakteristiknya yang heterogen dan cenderung tidak memiliki sensitifitas tinggi terhadap ancaman (Akoto, 2022). Apabila menyerang objek militer, walaupun dengan menggunakan kekuatan cyber, cenderung bisa dipatahkan karena institusi ini memang sudah dipersiapkan ke arah itu. Sebaliknya, masyarakat bisa dimasuki dengan berbagai cara. PBB sudah melansir ini dengan menekankan pada ketidakamanan manusia (human insecurities).
Laporan PBB menunjukkan ada 7 ketidakamanan manusia yang sangat potensial diserang secara proxy. (1) Ketidakamanan ekonomi, (2) kerawanan pangan, (3) kerawanan kesehatan, (4) ketidakamanan lingkungan, (5) ketidakamanan pribadi, (6) ketidakamanan komunitas, dan (7) ketidakamanan politik (Human Security Unit, 2016). Semua sisi itu jelas sangat fundamental dalam sebuah negara. Indonesia termasuk negara yang masuk dalam sasaran serangan ini.
Apa yang harus dilakukan?
Untuk lepas dari jeratan proxy war sangat sulit, karena memang tipikal peperangan tidak terlihat jelas, apalagi menggunakan pola-pola pola-pola cyber war. Musuh tak terlihat tetapi negara terasa lemah dan publik sudah terpisah-pisah.
Sebuah riset dari Akoto (2022) bisa menjadi bahan referensi. Kunci utama dalam menangkal serangan cyber pada proxy war adalah kuatnya institusi publik dan adanya kekuatan publik itu sendiri. Cyber war tidak akan bisa berjalan maksimal jika institusi dan mekanisme akuntabilitas publik berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika hal tersebut lemah, serangan mudah masuk dan tidak terkendali (Akoto, 2022). Riset Akoto ini memang banyak fokus pada keberadaan hackers dalam cyber war, tetapi jika dikonteksnya dengan persoalan ketidakamanan manusia (human insecurities), gagasan tersebut menemukan titik relevansinya.
Pada kondisi Indonesia, harus ada penyelesaian pada semua akar masalah. Tujuh aspek ketidakamanan manusia yang dilansir PBB, bisa diselesaikan dengan menguatkan dan mengokohkan ekosistem pertahanan negara. Ekosistem ini terkait erat dengan mekanisme pembangunan berorientasi pada penguatan pertahanan bernegara. Harus ada sinkronisasi semua program pembangunan dengan satu iktikad baik, yaitu kuatnya tataran kebutuhan riil di publik.
Apabila komponen sishanhamrata menekankan 4 aspek (intelijen, pertahanan, keamanan, siber), semua itu akan terwujud pada kesatuan ekosistem. Aspek pertahanan ada pada semua lembaga departemen dan lembaga pemerintahan. Komponen cadangan dan komponen pendukung juga harus punya arah orientasi pertahanan.
Kita ambil contoh saja, kasus lingkungan hidup seperti kebakaran hutan dan lahan, kelangkaan air bersih, kekeringan, tanah longsor dan banjir. Apakah masalah-masalah yang menjadi akar ketidakamanan lingkungan ini sudah diprogramkan untuk diselesaikan dengan komitmen pertahanan negara ataukah justru masalah itu “dikelola” sehingga bisa jadi pekerjaan baru di tahun berikutnya? Jika konsisten dengan sudut pandang ketahanan dan kesejahteraan masyarakat, harusnya itu bisa dituntaskan. Tapi jika tetap jadi kasus berulang, disitulah sebetulnya institusi publik sudah dimasuki serangan proxy, sadar atau tidak.
Tepat jika ditegaskan bahwa pembangunan harus berorientasi pertahanan negara, wujudnya ada pada sinergi ekosistem. Jika pertahanan hanya dibebankan pada komponen utama, kepincangan yang terjadi. Ini berkolerasi langsung dengan doktrin TNI sebagai Tentara Rakyat.
Saat TNI banyak terlibat dalam kegiatan sipil seperti Tentara Manunggal Desa (TMD), pembangunan infrastruktur, inovasi-inovasi teknologi di masyarakat, penguatan Satkowil dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, itu bukanlah bentuk menolak tuntutan reformasi atau ingin mengatakan TNI bisa segalanya. Semua itu bagian mengisi “ruang-ruang kosong” dan demi pertahanan negara, harus segera diisi. Pihak lain mungkin tidak menyadari “ruang kosong” ini, tapi TNI pasti tahu. Ekosistem yang berjalan maksimallah yang bertanggungjawab mengisi “ruang kosong” tersebut.
Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di www.kompas.com, tanggal 6 Mei 2024