Oleh : Kunto Arief Wibowo
Apakah orang Indonesia itu pelit-pelit? Tidak, mereka sangat pemurah dan suka memberi. Mau bukti? Coba lihat ketika ada kejadian bencana alam atau musibah yang melanda suatu negeri, dalam hitungan cepat, segera akan muncul lembaga-lembaga yang membuka donasi. Tak butuh lama, rekening donasi itu akan pula segera mengalir deras. Entah darimana sumbernya, entah siapa yang mengirim, yang jelas sumbangan akan mudah terkumpul.
Mochtar Loebis dalam sebuah tulisannya dulu pernah berkata, bahwa kemauan orang Indonesia memberikan sumbangan adalah salah satu sifat baik yang perlu disyukuri. Tidak perduli dia miskin atau kaya, niat untuk menyumbang itu biasanya selalu muncul.
Mungkin ini terpengaruh juga oleh ajaran agama yang memang menganjurkan untuk berbagi, bersedekah, sesuai kemampuan. Tak bisa sedekah harta, senyumpun itu sudah cukup.
Buya Hamka dalam bukunya Falsafah Hidup juga pernah menyatakan hal ini. Naluriah manusia memang memiliki sifat kasihan, menolong, dan suka memberi. Hanya terkadang karena godaan nafsu, hilangnya akal, keserakahan yang muncul. Akal lah yang kemudian menjadi penentu.
Bagi Hamka, orang yang mampu dan mau memperdulikan sekitarnya, tetangganya, kaum kerabatnya yang membutuhkan, termasuk untuk dirinya sendiri, itulah orang yang utama. Orang Indonesia punya potensi itu karena sudah terpupuk sejak lama, sejak ajaran para nenek moyang dan orang-orang tua dahulu. Pengecualian mungkin ada, tapi hakekatnya manusia punya itu semua, hanya penggunaan akal yang membuatnya berbeda.
Di era sekarang, wujud dari kepedulian itu kadang tampak nyata. Gerakan berdonasi terhadap korban bencana alam, misalnya, adalah salah satu bentuk. Gerakan Jumat Berkah dengan memberikan makan siang gratis, gerakan Sahur on the road di bulan Ramadhan juga salah satu wujudnya.
Selain semangat berbagi dan memberi yang merupakan ciri khas orang Indonesia, menarik pula melihat pola timbal balik. Manusia tidak hanya ditekankan pada memberi, tapi juga bagaimana ia kemudian mau dan bisa menerima sesuatu secara disiplin dan sesuai kebutuhannya.
“Ambillah seperlunya, Bersedekahlah seikhlasnya,” kira-kira begitu. Disini ada prinsip dasar yaitu mengambil dan memberi. Kata kunci lain adalah “ikhlas”. Saat anda memberi sesuatu, maka berikanlah sesuai kemampuan dan keikhlasan. Jangan memaksakan diri memberi banyak hanya karena ingin pencitraan, diakui orang banyak, atau embel-embel Riya lainnya. Sebaliknya, anda juga jangan hanya memberi, karena anda pasti juga membutuhkan sesuatu, karena itu ambillah sesuai kebutuhan, jangan berlebihan.
Bagi Buya Hamka, itulah yang disebutnya sebagai Manusia Utama, yaitu yang mampu menyeimbangkan kebutuhan dirinya sendiri dan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain. Apabila tidak mampu berada pada posisi seimbang, keserakahan atau mungkin kezholiman lah yang terjadi.
Sebagaimana dikatakan di awal, orang Indonesia sebetulnya punya potensi terhadap ini. Basis budaya Indonesia, mengenal ini semua. Rasa kepedulian, tenggang rasa, rasa malu, gotong royong, itu sudah melekat, yang dalam konteks Melayu diringkas menjadi satu kata “Budi”. Orang yang berbudi adalah orang yang mampu menyeimbangkan kepentingan dirinya dan juga keberadaan pihak lain disekitarnya. Nilai “budi” adalah nilai luhur yang ada pada orang Indonesia.
Tetapi kemudian mengapa sekarang timbul banyak kasus yang menunjukkan hilangnya “budi” ini? Korupsi merajalela, ketimpangan makin nyata, sumber daya alam disedot untuk kepentingan pribadi. Serakah.
Banyak faktor bisa jadi penyebab, yang menunjukkan terjadi degradasi pemahaman terhadap nilai luhur yang kemudian menghilangkan kesimbangan akal dengan nafsu.
Oleh sebab itu, mengembalikan hakekat “budi” untuk menjadi Manusia Utama, perlu diperkuat dan dilakukan terus menerus. Ini berkorelasi dengan semangat-semangat dasar yang sudah dimiliki, gotong royong, kepedulian, rasa malu. Rasa yang didominasi oleh kepentingan pribadi, harus diseimbangkan dengan kepentingan orang banyak. Harus dilatih mekanisme dalam diri sendiri agar sadar dengan pernyataan dasar, “apakah yang diiterima/diambil sudah seimbang dengan apa yang diberikan?”
Inovasi pada tataran budaya dan prilaku ini agaknya yang perlu didorong terus menerus di Indonesia. Keseimbangan antara yang diterima dengan yang diberikan. Cara melakukannya, tidak mesti dengan memaksa melalui aturan-aturan main yang ketat. Tidak perlu sanksi hukum apalagi sanksi pidana jika itu dilanggar. Jika sanksi yang ditekankan, akan muncul pula siasat-siasat baru untuk memanipulasinya.
Inovasi terbaik adalah “membiasakan”. Dengan asumsi bahwa orang Indonesia sudah punya basis kultural dan religi tentang keseimbangan ini, maka pembiasaan ulang lah yang perlu digiatkan. Best practice diperbanyak, pelibatan publik diperluas, gerakannya dimassifkan.
Masyarakat tidak hanya butuh inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi semata, lebih dari itu perlu inovasi-inovasi budaya dan prilaku. Perlu contoh konkrit dan perlu tindakan nyata.
Indonesia juga punya ciri khas kebersamaan, guyub dan terwujud dalam gotong royong. Sikap-sikap ini yang perlu dimunculkan lagi ditengah tekanan individualistis yang makin kuat. Makin banyak gerakan ini, akan lebih bagus, karena memang itulah ciri khas orang Indonesia.
“Warung Amal”, sebuah gerakan kecil yang dilakukan beberapa pihak di Kota Bandung beberapa waktu lalu, adalah bagian dari itu. Bagi yang datang ke warung ini, silahkan ambil apa saja yang ada, tapi jangan lupa bersedekahlah seikhlasnya. Tak ada aturan harga disini, yang ada adalah kepatutan, keikhlasan dan rasa malu. Ini hanya gerakan kecil, tapi akan berefek besar jika kelompok lain juga mengembangkan gagasan yang sama.
Di “Warung Amal” semua bisa memberi dan juga mengambil. Kejujuran, sikap disiplin, tidak tamak, tidak serakah, diperlihatkan secara langsung. Hal pentingnya, tidak hanya memberi (bersedekah) tapi juga mengambil sesuatu untuk kebutuhan diri sendiri.
Agaknya “Warung Amal” mencoba berada tampil sebagai titik putih kecil di belantara yang mulai menghitam. Apapun itu, bagi kita inilah salah satu Inovasi Budaya secara nyata, yang hasilnya mungkin hanya akan dirasakan 20 atau 30 tahun ke depan, saat dimana penggagas “Waung Amal” itu sendiri mungkin sudah tidak ada lagi. Yang tertinggal hanyalah legacy, warisan yang diturunkan ke generasi berikutnya.