MOTAH

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Lagi dan lagi, masalah sampah kembali jadi perbincangan. Volume sampah terus meningkat, tapi solusi belum juga maksimal. Berbagai temuan dan inovasi juga sudah dilakukan, tapi toh yang namanya tumpukan sampah masih menggunung. Polusi masih terjadi, apalagi di perkotaan.

Kota Bandung, Jawa Barat mencatat kenaikan volume sampah signifikan tiap tahun. 1.500 ton lebih diproduksi setiap hari. Tingginya jumlah penduduk serta banyaknya pengunjung ke kota ini jadi penyebab sampah terus meningkat.

Banyak inovasi sebetulnya sudah dicobakan, mulai dari mengolah sampah menjadi bahan yang bisa didaur ulang, sumber energi, bahkan sampai dijadikan pupuk dan pakan ternak. Tapi toh tumpukan busuk itu tetap saja membubung.

Solusi terhadap masalah ini, memang mau tidak mau harus menggunakan teknologi. Sampah tidak bisa terurai sendiri, khususnya jenis plastik, popok/pembalut, kaleng/besi/aluminium, dan sebagainya. Karena itu ia harus dibantu dengan teknologi.

Membatasi masyarakat agar tidak memproduksi sampah, atau mengurangi, juga sulit dan kalaupun bisa butuh waktu lama. Ini terkait dengan prilaku dan kebiasaan yang sudah seperti mendarahdaging. Dua-duanya harus berjalan, pendekatan teknologi dan pendekatan perubahan prilaku. Teknologi adalah hal utama.

Tidak dipungkiri sudah demikian banyak teknologi ini diciptakan para pihak, tapi toh masih juga bermasalah. Masing-masing punya kelebihan, tapi juga menyisakan beberapa kelemahan. Identifikasi awal saya menunjukkan beberapa hal yang menjadi masalah.

Pertama, teknologi yang tidak ramah lingkungan. Ada teknologi yang diciptakan tapi justru berpotensi merusak lingkungan, seperti masih menggunakan bahan bakar minyak, listrik, limbah yang jadi masalah baru, ataupun menimbulkan polusi udara.

Kedua, pengoperasian teknologi cenderung tidak praktis, relatif ribet. Misalnya sebelum mengolah sampah, harus dipisahkan dulu antara sampah organik dan non organik, plastik dan tidak plastik serta lain sebagainya. Bagi sebagian kalangan ini cenderung dianggap merepotkan.

Ketiga, teknologi berbiaya tinggi, termasuk perawatan. Ini memang konsekuensi pembuatan teknologi. Biaya pembuatan mesin tentu punya nilai tinggi, semakin berkualitas cenderung harga semakin mahal. Oleh karena itu yang bisa mengakses ini hanya kalangan tertentu, terutama pemerintah.

Keempat, luaran dari teknologi yang dibuat serba tanggung. Ada beberapa teknologi yang mampu membuat luaran menjadi produk tertentu. Tetapi kualitasnya sulit bersaing dengan produk lain.

Kelima, dukungan kebijakan tidak maksimal. Sebuah teknologi agar bisa dimanfaatkan dengan baik, dipengaruhi oleh intervensi kebijakan, terutama peran pemerintah. Hal ini penting karena pengelolaan sampah membutuhkan kebijakan politik, apalagi penggunaan teknologi berbiaya tinggi. Sampai saat ini, masaalh ini belum tuntas, sehingga inovasi terkadang mandeg karena tidak ada tindak lanjut.

Tetapi apapun itu, inovasi tidak boleh berhenti, sampahpun akan terus diproduksi. Kelemahan harusnya ditutupi dengan inovasi baru yang memunculkan kelebihan. Bamunuarachchige (2024) berpendapat dalam bukunya Waste Technology for Emerging Economics bahwa masalah sampah memang harus diselesaikan dengan teknologi. Tidak cukup hanya sekedar membangun kesadaran warga saja.

Atas dasar itulah, setelah meluncurkan mesin pengolahan sampah menjadi briket untuk bahan bakar, sebuah terobosan lagi kami ciptakan. Kami menyebutnya “Insenerator Motah” atau Mesin Olah Runtah. Runtah dalam bahasa Sunda dimaknai sebagai sampah. Atas kerjasama dengan Kodam III Siliwangi lah mesin ini terwujud, dimulai tahun 2023 lalu.

Apa keunikan dan kelebihan mesin ini? Sederhananya, Motah mampu menjawab beberapa kelemahan yang sudah dijabarkan di atas. Pertama, metode pembakaran sendiri (Self Combusting Burning). Sumber panas untuk membakar sampah berasal dari sampah itu sendiri atau disebut pembakaran internal. Tidak perlu sumber panas dari luar. Hemat energi dan ramah lingkungan, itulah keunggulan utama.

Kedua, penggunaan sistem aliran udara yang begitu baik (Natural Air Flow), dimana aliran udara alami mampu mengatur suhu dan menjaga konsistensi suhu panas yang dihasilkan. Tidak diperlukan pengaliran udara dengan alat ekternal, sehingga sistem pengoperasian dan perawatan yang mudah dan murah. Operasional mesin ini relatif murah. Teknologinya juga mudah untuk dioperasikan, tanpa harus belajar secara khusus, siapapun bisa menggunakan alat ini.

Ketiga, mampu menciptakan panas hingga 1000 0C sehingga pembakaran bisa berlangsung cepat dan tidak menimbulkan asap atau bau menyengat. Dengan model pembakaran seperti ini, maka apapun jenis sampah bisa diolah dengan mesin ini. Baik plastik, sisa makanan, popok bayi, kertas, dan jenis lainnya bisa dibakar cepat. 95% sampah dipastikan berakhir jadi debu.

Keempat, kapasitas yang besar, mencapai 1 ton/jam. Kapasitas ini membuat operasional Motah bisa cepat dan manfaatpun bisa langsung dirasakan. Andai Motah ada di setiap desa, niscaya desa tersebut akan bersih dari sampah.

Kelima, terbuat dari berkualitas tinggi, sehingga Motah punya daya tahan yang kuat. Kendati demikian, karena menggunakan prinsip teknologi sederhana namun berkualitas, Motah mudah dalam pemeliharan dan berbiaya sangat hemat. Tak perlu biaya perawatan yang mahal, karena tidak bergantung pada listrik ataupun bahan bakar.

Keenam, hasil pembakaran sampah menghasilkan debu-debu halus yang dijamin aman terhadap kondisi di sekitar. Motah sudah lulus uji emisi dan abu, sehingga dipastikan aman. Selain itu, sedang dikembangkan pula teknologi penyedot debu dan bisa digunakan untuk aspek lain yang produktif.

Ketujuh, dari sisi keselamatan dan keamanan, Motah telah dilengkapi fitur-fitur pengaman, sehingga tidak membahayakan. Tak heran, Motah sudah dibekali label SNI dan dilindungi dengan Hak Paten. Desainnya yang minimalis dan ergonomis juga kemudian mendorong Motah tidak akan menyulitkan dalam pengoperasian.

Di beberapa titik sudah di sebar Motah, khususnya di kawasan Citarum, karena memang daerah ini menjadi prioritas dalam pengelolaan sampah. Hasilnya cukup positif. Setidaknya sudah ada 14 lokasi penempatan Motah.Volume sampah yang tidak terolah bisa dikurangi dengan maksimal.

Perlu memang dukungan semua pihak, terutama kalangan industri dan pemerintah untuk memaksimalkan segala usaha dalam pengelolaan sampah. Motah bisa jadi salah satu alternatif. Hasil pembuktian praktik di lapangan memang sudah menunjukkan hasil positif.

Akan tetapi, jika dukungan para pihak ini yang kemudian menjadi kendala dalam pemanfaatan teknologi, maka Motah akan tetap berjalan. Banyak tempat-tempat yang membutuhkan pengolahan sampah. Teknologi ini akan tetap bergerak, karena memang kita butuh itu.

Scroll to Top