Uncategorized

Diplomasi Militer via Olahraga

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Saat dua pesilat akan berlaga, mereka memulainya dengan membuat langkah, mengatur kuda-kuda dan saling menatap. Pertarungan akan segera terjadi. Tetapi tiba-tiba saja, salah seorang dari pesilat, menundukkan diri, mengatupkan tangan ke dada, dan mengundurkan diri. Tarung belum terjadi, tapi ia sudah mengaku kalah.

Apa sebab? Ternyata ia sudah membaca langkah lawannya, jurusnya sudah bisa diketahui, dan ia sangat yakin kalau ini dilanjutkan, ia akan kalah. Mengakui di awal, jauh lebih baik.

Dalam dunia militer, filosofis seperti pesilat itu adalah keuntungan yang sangat diinginkan. Tanpa harus mengeluarkan sebutir pelurupun, kemenangan sudah diperoleh.

Itulah diplomasi. Kemampuan mempengaruhi lawan sehingga mengakui kekalahannya dengan memanfaatkan sumber daya lain. Dalam konteks militer, sumber daya ini adalah kekuatan diluar ketentaraan, bukan bedil, meriam, bom atau lainnya.

Diplomasi sejatinya adalah usaha untuk meyakinkan pihak lain atau negara lain untuk dapat memahami dan membenarkan pandangan kita dan jika mungkin mendukung pandangan kita itu, tanpa perlu menggunakan kekerasan (Djalal, 1990).

Kemenangan dalam usaha diplomasi ditandai dengan munculnya rasa hormat dan rasa segan dari pihak lain sehingga kemudian menuruti keinginan kita.  Terkadang hal ini tidak perlu bicara substansi, tapi muncul dari sisi lain.

Kekuatan sebuah negara saat ini tidak bisa dipandang dari satu sisi saja, tapi termasuk dan dipengaruhi oleh aspek lain disekitarnya. Aspek ekonomi, politik, infrastruktur, pendidikan, seni, termasuk olahraga, akan ikut berperan. Karena itu diplomasi kemudian merambah ke berbagai sisi. Salah satu yang menonjol adalah diplomasi budaya dan seni (Muscaf, 2020).

Aspek olahraga sebetulnya bisa mengambil peran penting. Karakteristik utamanya adalah olahraga cenderung memiliki nilai-nilai yang universal, berlaku dimanapun. Salah satu alasan Spanyol menjadi negara yang cukup disegani didunia, begitu juga dengan Inggris, adalah karena sepakbola. Kiblat sepakbola dunia memang terpusat pada dua negara ini, karena itu mereka memiliki “kekuasaan” tersendiri di mata negara lain.

Indonesia, dalam kasus tertentu, juga menunjukkan sisi ini, bahkan sempat mengambil peran penting untuk menunjukkan kekuatan melalui olahraga. Gagasan GANEFO (Games of New Emerging Forces) yang dimotori oleh Presiden Soekarno tahun 1963, menjadi salah satu unjuk kekuatan negara-negara yang baru berkembang dan bahkan baru merdeka. Betapa tidak, GANEFO tampil sebagai tandingan Olimpiade dan Indonesia adalah penggerak utamanya.

Diplomasi melalui jalur olahraga adalah salah satu jalan untuk menunjukkan kekuatan Indonesia di mata dunia. Prestasi pada cabang olahraga Bulutangkis misalnya, bisa menempatkan Indonesia adalah negara yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Keberhasilan Pencak Silat merambah dunia internasional juga menjadi jalur diplomasi penting. Banyak negara lain yang kemudian tertarik dan mulai mendalami seni beladiri khas Indonesia ini, yang kemudian menempatkan posisi negara sebagai kiblat aktraksi bela diri ala Timur. Orang tidak lagi terfokus pada Kungfunya China, Karatenya Jepang atau Tae Kwon Do-nya Korea.

Kalangan Militer juga tidak tinggal diam. Indonesia telah memiliki KOMI (Komite Olahraga Militer Indonesia) yang berperan besar dalam pembinaan atlet dari kalangan militer. Organisasi ini memang baru berdiri sejak 2010 lalu, tetapi di level internasional sudah tergabung dengan CISM (Counseil International du Sport Militare) yang merupakan kumpulan olahragawan dari kalangan militer seluruh dunia.

Keikutsertaan di CISM juga bukan sekedar meramaikan. Beberapa ajang internasional CISM bahkan sudah dilakukan di Indonesia. Dalam beberapa event yang diselenggarakan, Indonesia juga sudah membubuhkan prestasi tertinggi.

Memang gaung KOMI tidaklah seperti olahraga prestasi yang berada di bawah KONI. Pesertanya yang terbatas hanya dari kalangan militer mungkin menjadi salah satu sebab kenapa KOMI tidak sepopuler KONI. Tetapi sebetulnya, cukup banyak prajurit TNI yang mencatatkan diri sebagai atlet di bawah binaan KONI dan memiliki prestasi di tingkat dunia.

Keterlibatan dalam CISM adalah sebuah ruang diplomasi penting, karena disitulah berkumpulnya atlet-atlet dari kalangan militer seluruh dunia. Prajurit TNI berinteraksi dan bersaing dalam sebuah perlombaan dengan tentara negara lain. Apa yang diemban mereka? Tentu saja adalah Merah Putih.

Diplomasi ada pada wilayah ini. Para prajurit menampilkan kemahiran, kekuatan, dan berbagai kemampuan lainnya, untuk kemudian bersaing dengan sekian banyak negara. Oleh sebab itu, diplomasi yang soft power sangat efektif diterapkan dan itu berperan besar untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di mata dunia, khususnya kalangan militer.

Melalui olahraga, slogan perdamaian dan sportifitas bisa dikumandangkan.

Militer bukan semata-mata urusan peperangan, tetapi juga mampu menjadi “diplomat-diplomat” dengan potensi lain di luar urusan ketentaraan. Indonesia sebagai negara yang menunjunjung tinggi perdamaian dunia, coba terus disuarakan melalui prajurit di jalur olahraga.

Keberhasilan apa yang ingin dicapai dengan diplomasi seperti ini?

Pertama, menonjolkan pemahaman pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang bermartabat dan berdaulat. Diplomasi militer melalui jalur olahraga tidak akan muncul begitu saja, pasti ada proses yang membentuknya. Itu hanya bisa dilakukan jika ada kondisi keamanan yang stabil dan proses pembinaan yang berkelanjutan. Ini sisi penting.

Kedua, menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki ragam potensi yang sangat potensial dan menjanjikan. Ia ada di semua lini, dan prajurit adalah salah satunya.

Ketiga, menunjukkan pada dunia bahwa Indoensia bukanlah diisi oleh orang-orang lemah. Militernya yang mampu berkiprah di tingkat CISM menunjukkan bahwa prajurit TNI itu kuat dan bermartabat.

Sasaran terbesar tentu untuk menempatkan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan di level dunia, disegani dan dihormati.

Kembali pada konteks Diplomasi, jika sudah muncul rasa segan, penghormatan, memperhitungkan, maka setidaknya salah satu trik diplomasi sudah berjalan. Tak perlu suruh prajurit bertempur untuk menunjukkan kekuatan, cukup tampilkan prestasi dan kemampuan berolahraga. Dari situ saja, pengakuan, walaupun tidak secara eksplisit sebenarnya sudah muncul. Soft power, itu yang menjadi magis yang akan muncul.

Scroll to Top