Oleh : Kunto Arief Wibowo
Disiplin. Ini sebuah kata klasik yang lazim terdengar. Dalam sebuah ajang diskusi, saya pernah ditanya, “disiplin adalah hal penting yang mencakup banyak hal. Disiplin waktu, disiplin menjalankan arahan strategi perusahaan, disiplin mengerjakan sesuatu yang menjadi kewajiban, dan berbagai bentuk komitmen lainnya. Di militer, ini cenderung lebih mudah dilaksanakan karena ada sistem dari awal yang sudah dirancang. Tapi bagaimana implementasi pada organisasi sipil?”
Pertanyaaan di atas dilanjutkan lagi dengan sesuatu yang lebih menohok. “Mentalitas mendasar adalah kerelaan jiwa raga dan loyal untuk bangsa dan lembaga, apapun situasinya. Lagi-lagi, jika di militer ini cenderung lebih mudah, tapi bagaimana dengan lembaga atau perusahaan swasta?”
Dua pertanyaan yang membuat saya agak berkernyit. Dengan beretorika ini mudah menjawabnya, cukup munculkan teori-teori. Tapi saya yakin, pertanyaan ini butuh jawaban praktis, bukan retoris.
Sebagai seorang militer, tentu kerangka pengalaman tentara akan jadi permulaan. Saya mulailah dengan pengalaman.
Pada sebuah operasi di daerah konflik, beberapa waktu lalu. Saat itu posisi saya sebagai Komandan sebuah satuan. Kami ditugaskan untuk melakukan penyergapan kelompok musuh, yang berdasarkan data intelijen sebelumnya, sudah diketahui bahwa musuh selalu berada di sebuah lokasi jam 7.00 pagi. Mereka selalu datang antara 5-7 orang, bersenjata lengkap. Maka pasukan saya instruksikan, sudah berada di posisi masing-masing jam 6.15 – 6.30, pakaian sipil dan senjata dikamuflasekan. Anggota saya berkekuatan 10 orang, semua sudah punya tugas tertentu.
Apa yang terjadi? Sampai jam 6.30, sebanyak 9 anggota sudah standby, sisa satu orang. Beberapa menit kemudian baru ia datang dengan tergopoh-gopoh. Apa yang saya lakukan? Batalkan operasi, kembali ke markas. Anggota yang terlambat langsung mendapat hukuman.
Andai saat itu, operasi tetap saya jalankan, resiko kegagalan sangat tinggi. Si anggota yang terlambat masih butuh persiapan dan adaptasi dengan situasi, dan itu bisa mengacaukan konsentrasi pasukan. Saya tidak bisa mengorbankan anggota lainnya hanya gara-gara ketidakdisiplinan satu orang. Resikonya jelas, gagal dan bertaruh nyawa.
Apa yang termaktub disitu? Pertama, disiplin waktu. Tidak boleh ada yang keluar dari rentang waktu yang ditetapkan. Toleransi ada, tapi tetap dalam batas maksimal (jam 6.30 bagi). Kedua, disiplin pada pakaian dan atribut. Atau dalam bahasa lain, disiplin dalam sarana prasarana. Pakaian kamuflase, artinya pakaian yang tidak menunjukkan ia adalah tentara. Ketiga, disiplin pada bidang tugas. Semua sudah ada posisi dan tugas masing-masing. Tidak boleh dilanggar. Ketika ada yang tidak siap, berarti satu posisi terganggu. Batalkan. Keempat, disiplin pada keutuhan satuan/organisasi. Andai saat itu, operasi tetap dijalankan, anggota saya akan berpotensi menjadi korban. Saya harus disiplin pada keutuhan satuan.

Disiplin tertinggi dari semua itu adalah patuh dan komitmen dengan aturan. Bisa saja, saya teruskan penyergapan dan anggota pasti mengikuti, tetapi jika itu dilakukan, saya sudah melanggar komitmen dan aturan. Saya akan menjadi tidak disiplin. Patuh dan tunduk pada aturan, adalah disiplin tertinggi.
Sebetulnya, jika kita jujur disiplin ala militer dan disiplin ala sipil, sama saja. Patuh dan ikuti aturan, komitmen pada tujuan, kendalikan diri. Tapi memang disiplin tidak muncul begitu saja.
“Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa disiplin bukanlah kata yang buruk, bahwa disiplin adalah kunci kesuksesan yang sebenarnya, semua faktor kesuksesan lainnya tidak akan berjalan tanpa disiplin.” Demikian ujar Clara Coinlon (2022).

Kembali pada pertanyaan awal, bagaimana menempatkan disiplin ini jika itu adalah institusi sipil? Contoh di atas adalah konteks militer yang ketat dan taat komando.
Saya tidak punya pengalaman di organisasi sipil, tetapi setidaknya apa yang pernah diterapkan di militer bisa diadopsi.
Implementasi kedisiplinan terbaik dimulai dari pemimpin, tepatnya kepemimpinan. Oleh sebab itu, kedisiplinan akan bicara soal kepemimpinan. Kepemimpinan seperti apa? Dimensinya adalah kepemimpinan yang menghargai, bisa dipercaya, selalu memberikan kesempatan kepada anggota sesuai aturan, komitmen pada tim baik secara lahir maupun batin, selalu melakukan pengawasan, pengendalian dan optimalisasi kegiatan. Menyeluruh dan komprehensif, karena kepemimpinan menyangkut otaknya sebuah lembaga.
Muaranya adalah menjadi motivasi dan acuan dari seluruh anggota. Tidak perlu keras atau membabi buta, pendekatan humanis diperlukan, tetapi tegas dan selalu berorientasi pada anggota akan membuat anggota juga terpacu.
Tentara juga seperti itu, disamping memang sudah ada sejak pendidikan awal bahwa kedisiplinan adalah nomor satu, tetapi itu tidak bisa muncul tanpa “pemeliharaan” dalam prosesnya.
Oleh sebab itu, kedisiplinan menuntut adanya pengetahuan, pengalaman, keterampilan, konsistensi dan komitmen. Semua itu ada dalam prosesnya, dan bagaimana memelihara itu. Ia tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada mekanisme untuk mengawal proses tersebut agar selalu berjalan pada koridornya.
Artinya, jika bicara bagaimana menempatkan disiplin secara implementatif, harus bermula dari kepemimpinan yang mampu menjaga dan merawat hal itu. Disiplin memang ada pada individu masing-masing, tetapi ia harus diikat dalam sebuah komitmen bersama. Disiplin hanya bisa berjalan efektif jika berada dalam sebuah rangkaian sistem. Satu orang begitu disiplin, yang lain tidak, maka tidak akan berpengaruh positif bagi organisasi alih-alih hanya kepentingan karir yang bersangkutan.
Brent Gleeson dalam artikelnya di Forbes (23/01/2020) berkata bahwa kedisiplinan terkait dengan kemampuan untuk mengendalikan diri. Seorang pemimpin harus punya sikap ini. Akan sangat banyak godaan untuk keluar dari komitmen, tapi pemimpin harus bisa mengendalikan semuanya. Fokus pada tujuan organisasi.
Di organisasi militer ataupun sipil, sama saja. Godaan seorang komandan untuk mengabaikan keselamatan timnya demi mencapai tujuan sesaat, sering terjadi. Begitu juga, godaan pada organisasi sipil untuk lebih mengedepankan kepentingan pribadi ketimbang tujuan besar organisasi juga ada. Semua harus bisa dikendalikan, itulah disiplin terpenting, ujar Gleeson.
Karena itu, ketika organisasi sipil, baik pemerintahan ataupun lembaga swasta yang sangat profit oriented, menuntut kedisiplinan, awalilah dengan kejelasan aturan dan tujuan. Kemudian pegang teguh dengan sikap kepemimpinan. Kendalikan diri untuk terus komitmen dan konsisten.
Apabila sebuah organisasi sudah mampu ke tahap ini, disitulah ia menjadi kuat. Kuatnya organisasi sipil akan bergandengan dengan kuatnya organisasi pertahanan, termasuk militer. Kolaborasi antar semua itu yang akan menjadi basis penopang tegaknya Sishamkamrata.
Kita bicara lebih luas bahwa apapun organisasinya, tetap dalam konteks pelaksanaan Sishankamrata. Tak masalah organisasi anda adalah swasta murni, profit oriented, tapi itu adalah bagian dari Sishankamrata. Kuatnya swasta adalah kuatnya negara. Disiplin dan komitmen pada tujuan bersama menjadi penting, dan itu tidak akan muncul begitu saja. Kita harus membudayakan hal ini.