Kewirausahaan Lokal

Membina UMKM

Oleh : Kunto Arief Wibowo

 

Pada setiap penugasan yang saya jalani, perhatian selalu tertuju pada sektor-sektor riil di masyarakat. Insting selalu mengarah pada gagasan, ide apa yang bisa dilakukan. Insting yang terasah karena sektor riil adalah komponen tertangguh dalam pertahanan negara.

Semangat berbagi. Itu ide yang selalu digaungkan. Komponen pertahanan negara harus dikuatkan, sesuai dengan persoalan yang dihadapi.

Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, wilayah yang senyatanya berbatasan dengan lalu lintas internasional, lokasi yang betul-betul strategis bagi pertahanan Indonesia, disana juga bermukim ratusan bahkan ribuan sektor riil. Bidang usaha yang berhubungan dengan realitas masyarakat, Indonesia yang sesungguhnya.

Bidang UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) adalah sektor terbanyak. Tidak hanya di Tanjung Pinang sebetulnya, seluruh daerah di Indonesia dipenuhi pelaku-pelaku usaha kreatif ini. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan setidaknya ada 20.000-an pelaku UMKM untuk wilayah Tanjung Pinang. Data ini kemungkinan besar akan bertambah banyak, mengingat pertumbuhan makin meningkat.

Dengan jumlah tersebut, andai pada satu UMKM ada 3 anggota keluarga, maka ada 60.000 orang lebih yang bergantung pada sektor nyata ini. Sungguh jumlah yang tidak sedikit.

Banyak bidang yang diusahakanya, mulai dari jenis makanan, pakaian, souvenir, kerajinan, dan ragam usaha kreatif lainnya. Sesuatu yang terkadang tidak terpikirkan oleh kita, ternyata ada di sektor ini.

Seorang pedagang Kerak Telor adalah bukti UMKM yang kreatif

Masa Covid 19, yang melanda lebih dari 2 tahun lamanya, UMKM betul-betul terpuruk, tenggelam dalam hempasan pandemi yang kala itu entah kapan berakhirnya.  Pasca pandemi, mereka kembali bergeliat. Tak akan pernah hilang karena disitulah adanya orang Indonesia.

Apa yang bisa dilakukan? Apa hanya cukup dengan bersimpati, peduli, dan photo-photo membuat konten? Tentu tidak. Ini bukan soal viral atau apalah namanya.

Biarlah sedikit, tetapi nyata.

Langkah pertama tentu memahami dulu apa persoalan yang dihadapi kelompok kecil ini. Setidaknya, sejauh pemahaman terdapat beberapa konteks masalah yang masih membelit.

Pertama, kepastian legal usaha yang dilakukan. Sebagai sektor kecil tentu mereka akan sulit berbicara legalitas. Dengan kreatifitasnya, lahan 1 x 1 m pun mereka bisa sulap jadi lahan usaha. Bahkan terkadang tanpa lahan sama sekali, cukup bermodalkan sebuah gerobak atau sebuah sepeda. Mereka hidup dan terus berusaha.

Kedua, permodalan untuk mengembangkan usaha. Untuk bisa hidup lebih baik, usaha dikembangkan, tentu butuh modal usaha. Bagi UMKM ini masih jadi masalah, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membantu. Mungkin perlu solusi-solusi lain.

Ketiga, minimnya teknologi untuk menampung kreatifitas. Terutama sekali bagi kalangan UMKM yang tergolong tradisional, yaitu mereka yang memang dari awal sudah jadi pelaku usaha, tidak memiliki bekal pendidikan formal memadai, dan berusaha sebagaimana layaknya pedagang ke pembeli. Ini berbeda dengan pelaku UMKM kekinian, apalagi yang memang lahir karena adanya teknologi (e-commerce).

Keempat, rendahnya kuasa terhadap produk karena ketergantungan dengan pihak ketiga. Banyak di antara pelaku UMKM adalah mereka yang menjadi reseller. Ini menyebabkan mereka sangat bergantung pada pihak pertama ataupun kedua. Daya saing tentu menjadi rendah karena akses yang terbatas. Ketergantungan ini tidak hanya pada produk, dalam beberapa hal juga pada bahan baku.

Akumulasi dari semua masalah tersebut adalah kapitalisme pasar yang menempatkan pemilik modal sebagai pemegang kuasa. Mereka adalah pelaku usaha kecil, kecil dalam segala bentuknya. Tapi saat pasar dikuasai dengan kekuatan-kekuatan besar, maka UMKM kemudian akan menjadi laron-laron saja, mereka tetap hidup tapi sulit menjadi besar dan kuat. Bersyukur dengan kebijakan sekarang dari pemerintah yang mendorong pemberdayaan UMKM melalui ragam sektor. Kebangkitan mulai mereka rasakan.

Oleh sebab itu, sumbangsih dan peran pihak lain sangat diperlukan. Dukungan dan keberpihakan pemerintah, itu sudah pasti. Peran pemerintah memang ada pada wilayah ini, apalagi beberapa kementerian juga difokuskan ke sektor kecil ini. Banyak peran yang diambil dan dilakukan pemerintah, termasuk program hilirisasi.

Tetapi dalam posisi keterbatasan, maka dukungan pihak lain harus ada. TNI memandang sektor ini sebagai komponen penting, masuk dalam komponen pendukung sistem pertahanan bernegara. Sesuai konsep Sishankamrata, maka kekuatan elemen masyarakat adalah bagian vital. Tak mungkin berbicara pertahanan negara, tanpa masyarakat yang kuat.

Di beberapa daerah yang saya lalui, implementasi memperkuat selalu dilakukan. Kita  mencoba mengisi ruang-ruang kosong yang posisinya justru sangat mendesak. Oleh sebab itu, interopabiliti dan sinergi menjadi penting. Hal yang dilakukan juga sesuai dengan kemampuan dan kapasitas.

Pendekatan teknologi terapan, inovasi, dan mendorong kreatifitas, itu yang terus dilakukan. Munculnya produk mesin pengolah sampah, alat penjernih air, teknologi pembuatan batu es, gagasan tentang desa online, pendampingan pada UMKM, memperbanyak bazaar-bazaar, dan ragam kegiatan lainnya, adalah bagian dari semua itu.

Kita percaya pelaku UMKM adalah orang-orang luar biasa, memiliki etos kerja tinggi, tahan banting, dan berjuang untuk keluarganya. Bisa hidupi keluarga dan sekolahkan anak-anaknya, itu sudah lebih dari cukup. Sesederhana itu.

Didorong oleh kesadaran bahwa pelaku UMKM adalah bagian dari pertahanan negara, TNI mencoba masuk ke wilayah itu. Sebagaimana dikatakan tadi, andai di Tanjung Pinang saja ada sekitar 60.000 orang yang hidup dari usaha ini, bagaimana pula dengan wilayah lain. Apalagi jika dikalkulasikan dengan perputaran uang, bukan jumlah yang sedikit. Satu kata penting pula, mereka semua adalah Warga Negara Indonesia….Asli.

Scroll to Top