Pemberdayaan Masyarakat

Optimalisasi Teknologi Terapan Untuk Kedaulatan Petani

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Data menarik dan sekaligus membuat miris pernah dilansir oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) serta Badan Pusat Statistik. Dua lembaga ini mencatat adanya kenaikan signifikan jumlah petani gurem di Indonesia. Jika pada 2012 terdapat 14,25% maka di 2023 meningkat menjadi  16,89 %. Di sisi lain, BPS malah mencatat peningkatan petani gurem sebesar 21% dalam 10 tahun terakhir.

Ini bukan data yang menyenangkan. Petani gurem adalah kelompok petani yang memiliki lahan pertanian di bawah 0,5 ha. Artinya jumlah petani yang setiap tahun kehilangan lahan pertaniannya, terus meningkat. Data ini berkorelasi langsung dengan peningkatan impor beras Indonesia yang terus meningkat, tahun 2024 mencapai 4,52 juta ton alias naik 47,38% dibanding 2023.

Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Faktor alih fungsi lahan adalah yang utama. KPA dan BPS mencatat 3 besar kenaikan tertinggi petani gurem ada di Riau (102,97%), Sumatera Selatan (71,47%) dan Aceh (69,53%). Sementara kita mengenal daerah ini (terutama Riau dan Sumsel) adalah sentranya perkebunan besar, baik kelapa sawit maupun hutan tanaman industri. Artinya disini ada perubahan penggunaan lahan ke wilayah perkebunan besar.

Ada perbedaan mendasar antara perkebunan besar dengan perkebunan ataupun pertanian rakyat. Perkebunan besar cenderung homogen (satu jenis tanaman), dan bisa dipastikan itu bukan tanaman pangan. Sementara perkebunan rakyat, biasanya bersifat heterogen atau diversifikasi. Yang ditanam tidak hanya tanaman pangan, tapi berselang-seling dengan jenis lain yang dianggap menguntungkan.

Aspek lain yang berpengaruh adalah perubahan minat bertani disebabkan godaan sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan atau instan. Industrialisasi adalah yang utama. Tidak sedikit para petani yang beralih profesi menjadi pekerja pabrik, buruh perkebunan, atau sektor industri lainnya. Kebiasaan selama ini yang bersifat subsisten (hasil pertanian identik dengan ketahanan pangan), beralih ke sistem gaji harian/bulanan. Akibatnya keterikatan dengan lahan dan ciri khas seorang petani, memudar.

Sementara itu, perubahan iklim, tuntutan ekonomi, tidak berkorelasi kuat dengan modernisasi pada sektor pertanian. Di beberapa posisi, petani kerap tertatih-tatih antara mempertahankan pola-pola tradisional yang dikenalnya, dengan tuntutan modernisasi yang harus dikejar.  Tekanan-tekanan ini berkontribusi besar terhadap rentannya kelompok tani untuk pindah ke lain profesi.

Mengapa ini perlu dicemaskan?

Dari kacamata pertahanan negara, melalui konsep sishankamrata, kekuatan petani atau rakyat pada akar rumput adalah unsur penting. Adanya petani yang berkuasa pada lahannya adalah wujud dari kekuatan berbangsa. Petani yang berkuasa adalah petani yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengembangkan lahannya sendiri dengan mengikuti ritme alam. Apabila kemudian petani kehilangan kuasa ini, tergantung pada gagasan dan suntikan dari luar, maka otoritas itu tidak lagi ada. Petani akan di setir dan ia rentan untuk kehilangan lahannya.

Petani yang tidak memiliki lagi otoritasnya, akan menjadi ancaman serius bagi ketahanan berbangsa dan bernegara. Mereka akan menjadi kelompok-kelompok lemah, rawan godaan dan keterikatan pada tanah dan air akan meluntur. Mereka tidak lagi peduli dengan rusaknya lahan, pencemaran, ancaman tanah longsor, banjir dan sebagainya, Padahal ini adalah pondasi kuat pertahanan masyarakat.

Oleh sebab itu, dari kacamata pertahanan negara, sangat penting untuk menguatkan kelompok-kelompok petani ini, setidaknya harus ada upaya menyelamatkan yang tersisa.

Metode yang bisa dilakukan bukanlah dengan mengajak petani kembali ke masa lalu. Tidak mungkin, karena tuntutan perubahan zaman sudah berubah. Tidak masanya lagi, menguatkan petani dengan membagikan cangkul misalnya, atau sekedar menyediakan irigasi semata. Tidak efektif, karena petani jaman now tidak butuh itu.

Kita tetap memandang petani dan kelompok masyarakat pedesaan adalah mandala utama dalam zona pertahanan negara. Oleh sebab itu, pendekatan yang digunakan semestinya adalah pendekatan berbasis masalah dan beorientasi masa depan. Tidak hanya mempersiapkan sarana prasarana, tapi juga mendidik pola pikir agar berorientasi jangka panjang. Fisik dan non fisik harus jadi satu kesatuan yang saling menunjang.

Sejauh ini, dari unsur Teritorial TNI sudah mencoba melakukan banyak hal, karena ini adalah sektor yang berhubungan langsung dengan aspek pertahanan nasional. Ancaman hybrid rentan masuk ke wilayah ini. Kerjasama dengan komponen pemerintahan sipil untuk memperkuat basis pertahanan negara harus dilakukan.

Solusi dengan pengembangan teknologi terapan, adalah aspek vital yang dikembangkan. Selama ini, petani pedesaan (peasant), bukan petani penguasa lahan (farmer), memiliki keterbatasan dalam memaksimalkan potensi yang ada. Menggaet teknologi tinggi tentu butuh anggaran yang besar, dan itu jelas bukan hal mudah bagi petani. Sementara mereka harus punya itu.

TNI masuk ke wilayah ini, karena memang selama ini sudah memiliki berbagai sumber daya yang mampu melakukan itu. Mekanisasi alat pertanian, TNI sudah memiliki ragam teknologi untuk ini yang memang dikembangkan sebagai bentuk kreatifitas anggota. Teknologi untuk mendorong peningkatan Ph Tanah misalnya, dikembangkan dengan teknologi khusus, dan itu sudah dijalankan. Keberhasilan juga sudah terlihat.

Petani juga didorong agar bisa memaksimalkan semua potensi lahan yang dimiliki dan tidak hanya terfokus pada satu sektor saja. Gandengan pertanian pangan adalah sektor perikanan dan peternakan. Maka teknologi-teknologi tepat guna disebar untuk bisa memberikan keluasan sumber ekonomi bagi warga pedesaan.

Kata kunci penting disini adalah kolaborasi dan pendampingan. Bergandeng tangan alias gotong royong, disitulah ruhnya.

Sementara itu, sisi lemah terkait kelembagaan juga diperkuat. Tidak hanya asal berkumpul atau sekedar membentuk kelompok tani. Lebih jauh adalah pembinaan dan pendampingan kelembagaan dan mendorong mereka agar punya nilai tawar di level yang lebih luas. Maka kecanggihan teknologi dimanfaatkan untuk membentuk Sistem Informasi khusus petani pedesaan. Melalui jejaring online, kelembagaan ini bisa menjangkau banyak pihak dan petani juga bisa berkomunikasi dengan kelompok-kelompok lainnya.

Sektor pertanian tidak bisa dipandang sebelah mata, khususnya tanaman pangan. Sebuah ulasan dari Kay (2021) mengatakan bahwa Pemerintah Tiongkok sampai melakukan kontrak kerja dengan beberapa negara di Afrika untuk mengembangkan pertanian pangan, yang hasilnya kemudian disalurkan ke Tiongkok. Ini juga diikuti oleh beberapa negara Teluk (Timur Tengah).

Kay (2021) berpendapat ini berkorelasi pada terjadinya “perampasan lahan”, lahannya tetap di negara bersangkutan, tapi hasilnya untuk negara lain. Neoliberalisme sangat kencang disini. Ini soal kedaulatan, bagian inti dari pertahanan negara.

Oleh sebab itu, langkah-langkah yang sudah diterapkan selama ini, perlu untuk diperkuat bersama, bukan justru harus dilemahkan atau dipolitisir dengan berbagai isu lainnya. Petani kuat dan berdaulat, itulah basis pertahanan, dan disitulah TNI merasa penting untuk hadir dengan kolaborasi bersama pemerintahan sipil. Interopabiliti.

Scroll to Top