Oleh : Kunto Arief Wibowo
Indonesia memang sudah sepatutnya bersyukur dengan segala yang dimiliki. Hampir semua yang dibutuhkan di dunia, ada di negara khatulistiwa ini. Laut, daratan, pegunungan, air, semua menyimpan harta-harta berharga yang diperlukan orang banyak. Minyak bumi, gas, batubara, nikel, emas, timah, perak, tersebar di berbagai wilayah. Sebagian besar sudah diolah, beberapa belum tersentuh, dan di beberapa tempat masih memiliki cadangan cukup besar.
Akan tetapi, karena potensi dari bawah tanah ini harus dikupas dulu, maka kerap kali usaha-usaha mengoptimalkan potensi berhadapan dengan masalah lain, terutama aspek lingkungan, pencemaran, dan limbah. Kecuali minyak dan gas bumi, masalah kerusakan permukaan tanah pada lahan bekas galian tambang menjadi problem tersendiri.
Salah satunya terjadi di Kepulauan Riau, khususnya lahan-lahan bekas tambang Bauksit yang banyak tersebar di Kabupaten Lingga dan Pulau Bintan. Potensi bauksit di daerah ini memang besar, puluhan bahkan ratusan juta ton biji tanah yang berguna untuk bahan dasar pembuatan aluminium terdapat di daerah kepulauan ini. Banyak perusahaan besar kemudian beroperasi, mengupas tanah dan mengambil bauksit. Tak hanya usaha besar, kelompok penambang ilegalpun ikut pula bermain.
Mengapa lahan bekas tambang jadi masalah?
Lahan-lahan yang menyimpan biji bauksit, terutama di daerah Kepri, memang tidaklah lahan subur. Kondisi tanah cenderung keras, berpasir, dan liat. Tidak ada humus tanah yang baik, apalagi unsur hara tanah yang sangat rendah. Ini banyak terjadi, seperti lahan bekas tambang di Lingga, Karimun, dan beberapa titik lain di Bintan.
Ini memang realitas yang tak bisa dihindari. Apalagi kemudian lahan yang sudah dilakukan penambangan, dimana pada lahan bekas tambang akan ada sisa-sisa tambang dan tail yang kemudian akan menutupi permukaan ekosistem. Tanah yang memang kurang subur, kemudian diperparah dengan sisa-sisa penambangan. Akibatnya, sangat sulit untuk mengolah lahan menjadi lebih produktif (Aprilia, 2021).
Kondisi tersebut ditemukan pada hampir semua lahan bekas tambang di Kepri. Mirip dengan kejadian di lahan bekas tambang batubara ataupun timah. Bermasalah ketika lahan sudah ditinggalkan, tidak produktif dan kemudian menimbulkan persoalan baru, seperti erosi, longsor ataupun banjir.
Ini sisi negatif pertambangan terbuka.
Bauksit memang dibutuhkan, penambangan juga harus dilakukan, tetapi persoalan pasca tambang juga harus dituntaskan. Sangat disayangkan jika lahan yang puluhan bahkan ratusan hektar menjadi tidak produktif dan disia-siakan saja. Sementara di sekitar itu ada unsur masyarakat yang sebenarnya membutuhkan. Mereka selama ini hanya mengandalkan sektor perikanan laut, menjadi nelayan, ataupun buruh. Mengandalkan laut tidak maksimal, karena pengaruh faktor cuaca yang kerap tidak mendukung. Sementara pemenuhan kebutuhan sehari-hari butuh biaya besar yang disebabkan hampir semua kebutuhan disuplai dari luar daerah, seperti sayuran, beras dan sebagainya. Harga kebutuhan pokok juga meningkat.
Ketahanan pangan masyarakat akan terganggu, karena ekonominya tidak kuat. Masyarakat seperti ini cenderung menjadi lemah, padahal mereka adalah unsur yang paling dekat berhubungan dengan negara lain, maklum ini adalah wilayah perbatasan.
Dari kacamata pertahanan Indonesia, ini tentu hal krusial. Konsep sishamkamrata membutuhkan penguatan unsur masyarakat dari berbagai sisi. Masyarakat yang kuat dari sisi ekonomi, akan menyumbang kekuatan pertahanan. Sebaliknya, masyarakat yang lemah, rentan terkena godaan, iming-iming dari pihak luar, dan kemampuan menjadi elemen pertahanan bernegara akan rendah juga.
Disinilah kemudian unsur TNI melalui Kogabwilhan I, memandang perlu melakukan upaya khusus. Daerah ini adalah mandala pertahanan, yang dibagi ke zona depan, zona perbekalan, zona komunikasi dan zona belakang. Zona-zona ini harus kuat sesuai karakteristik masing-masing. Karena itu, operasi perlu dilakukan. Bukan operasi militer, tapi usaha memperkuat ekonomi masyarakat dengan mengandalkan segala potensi yang ada. Elemen pada Kogabwilhan I diharuskan untuk berpikir serius, cerdik, dan tentu saja inovatif. Sasarannya adalah penguatan zona pertahanan.
Program yang mendesak kemudian digagas, yaitu mengusahakan agar lahan-lahan bekas tambang bisa dikembalikan menjadi lahan bermineral, produktif dan bisa ditanami. TNI pun turun tangan dengan segenap inovasi.
Pembentukan kelembagaan adalah yang pertama dilakukan. Kelompok-kelompok tani dibentuk, setidaknya sudah ada 2 kelompok tani yang sekarang aktif mengusahakan lahan pertanian. Setelah kelompok dibuat, mereka diorganisir, diberikan pengetahuan tentang mekanisme dan tata kelola organisasi. Selanjutnya barulah intervensi teknologi. Tentu saja, Teknologi Tepat Guna (TTG) menjadi motor utama.
Dikarenakan titik masalah adalah lahan yang tidak siap tanam, maka TTG untuk menjadikan lahan bermineral yang harus dilakukan. Selama ini, teknologi tersebut sudah dikenal dan telah tersebar di berbagai daerah lain di Indonesia. Khusus di Kepri, perlakuan khusus diberikan, baik mekanisme ataupun komposisi teknis. Kogabwilhan memandu dan mendampingi secara langsung dan intensif.
Tidak hanya sebatas itu, diketahui juga bahwa masalah lain di masyarakat adalah suplai air sehat yang sangat minim. Selama ini mereka hanya mengandalkan air payau yang tentu tak memenuhi standar kesehatan. Karena itu, Kogabwiilhan I memutar otak bagaimana masalah ini bisa pula diselesaikan. Kembali, intervensi TTG yang sudah pernah diciptakan selama ini, dijadikan andalan. Alhasil, kebutuhan air yang sehat pada beberapa titik bisa dipenuhi. Mungkin belum maksimal atau bisa menjangkau semua daerah, setidaknya suntikan awal sudah dilakukan.
Apa yang dilakukan kemudian membuahkan hasil. Lahan yang selama ini sulit diolah sudah menunjukkan progres positif. Tinggal menunggu proses maksimal, maka panen pada lahan bekas tambang Bauksit akan terwujud. Lokasi yang bisa dikelola memang belum mencakup seluruh titik kritis di Kepri, masih banyak daerah lain yang perlu penanganan. Tetapi kembali lagi pada dasar awal, semua dimulai dari hal yang kecil. Lambat laun, melalui kelembagaan yang kuat dan profesional, tentu akan ada dampak secara berkelanjutan. Kolaborasi dan interopabiliti dengan pihak lain sangat diperlukan, TNI khususnya Kogabwilhan I terbuka lebar untuk hal ini