
Indonesia sebagai negara kepulauan, dengan sumber daya besar menghadapi tantangan serius berupa ketergantungan terhadap teknologi asing, minimnya riset strategis, lemahnya kapasitas industri lokal, kerentanan terhadap ancaman digital lintas batas, dan lemahnya sistem perlindungan teknologi nasional. Konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) menjadi relevan untuk diaktualisasikan tidak hanya dalam konteks pertahanan konvensional, tetapi juga dalam upaya menjaga dan mengembangkan kedaulatan teknologi nasional.
Sishankamrata adalah sistem pertahanan negara Indonesia yang bersifat semesta, artinya melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional secara menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan. Landasan konstitusional sistem ini terdapat dalam Pasal 30 UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Sishankamrata tidak terbatas pada pertahanan militer, tetapi juga merambah pada aspek sosial, ekonomi, dan teknologi sebagai bagian dari ketahanan nasional. Konsep ini menempatkan rakyat sebagai elemen utama dalam sistem pertahanan dan keamanan, yang dapat diwujudkan melalui keterlibatan aktif dalam penguatan teknologi strategis nasional.
Penguatan kedaulatan teknologi nasional tidak dapat dilepaskan dari peran kebijakan publik yang dirancang secara holistik dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, penting untuk membedakan pendekatan ex-ante dan ex-post dalam kebijakan teknologi. Pendekatan ex-ante berfokus pada perencanaan dan antisipasi melalui penyusunan kebijakan riset dan pengembangan (R&D), insentif teknologi nasional, dan pembangunan infrastruktur digital sejak dini. Sementara itu, pendekatan ex-post lebih menekankan pada evaluasi dan pengendalian kebijakan setelah implementasi, termasuk pengawasan terhadap alih teknologi, keberhasilan program TKDN, dan mitigasi risiko terhadap ketergantungan teknologi luar negeri.
Sayangnya, kebijakan teknologi nasional Indonesia selama ini masih cenderung bersifat ex-post, reaktif, dan berbasis respon terhadap krisis, bukan berbasis desain jangka panjang yang strategis. Oleh karena itu, penguatan pendekatan ex-ante melalui sistem pertahanan rakyat semesta (Sishankamrata) menjadi krusial. Sishankamrata menekankan pada mobilisasi kekuatan rakyat dan sumber daya nasional dalam menghadapi segala bentuk ancaman, termasuk di sektor teknologi. Dalam konteks ini, Sishankamrata menjadi relevan untuk dikembangkan sebagai kerangka integratif antara kebijakan pertahanan dan pembangunan teknologi nasional yang berdaulat dan resilien.
Relevansi kuat Sishankamrata dalam pembangunan dan perlindungan teknologi nasional, tampak dari beberapa hubungan strategis. Pertama, partisipasi rakyat dalam pembangunan teknologi: perguruan tinggi, startup teknologi, komunitas riset, dan industri lokal merupakan representasi dari rakyat yang dapat digerakkan sebagai kekuatan inovatif untuk menciptakan teknologi nasional. Kedua, civilian-based defense terhadap ancaman teknologi: keamanan siber, spionase teknologi, dan manipulasi digital menjadi bentuk ancaman non-konvensional yang dapat dihadapi dengan kekuatan pertahanan sipil berbasis teknologi. Ketiga, mobilisasi sumber daya untuk litbang strategis: Melalui sistem Sishankamrata, negara dapat mendorong pengembangan teknologi pertahanan, energi, pangan, dan komunikasi dengan melibatkan potensi lokal dan SDM nasional.
Pemahaman terhadap hal di atas, diikuti dengan keluarnya berbagai kebijakan dan program nasional yang sudah mencerminkan pendekatan semesta pada pengembangan teknologi nasional.
Pertama, UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) Mendorong integrasi antara riset dasar dan penerapan teknologi dalam pembangunan nasional dengan partisipasi lembaga pendidikan, swasta, dan komunitas.
Kedua, Program Prioritas Nasional : Riset Unggulan, TKDN, dan Startup Teknologi
Mendorong pengembangan teknologi dalam negeri yang berorientasi pada kemandirian dan peningkatan nilai tambah lokal.
Ketiga, Program Bela Negara Digital, keterlibatan masyarakat dalam literasi digital, keamanan siber, dan pengembangan inovasi digital sebagai bentuk baru dari pertahanan non-fisik.
Dalam melaksanakan hal tersebut, beberapa tantangan kemudian muncul yang menjadi masalah yang harus diselesaikan.
Pertama, fragmentasi kebijakan antar sektor. Hal ini tampak dari belum adanya sinergi antara Kementerian Pertahanan, BRIN, Kementerian Pendidikan, dan industri strategis nasional.
Kedua, keterbatasan sumber daya manusia teknologi. Hal ini terlihat dari kurangnya insentif untuk riset dan rendahnya minat generasi muda terhadap bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Rendahnya minat berkait pula dengan kualitas SDM yang masih terbatas penguasaan teknologinya.
Ketiga, ancaman terhadap keamanan teknologi. Maraknya kasus penyusupan teknologi asing, pembajakan digital, dan ketergantungan pada perangkat lunak impor, menjadi bukti konkrit keamanan digital sudah sangat mengkhawatirkan.
Oleh karena itulah diperlukan beberapa strategi untuk penguatan penggunaan teknologi dalam konteks Sishanhamrata. Beberapa hal yang bisa dilakukan seperti, mengintegrasikan sistem kebijakan pertahanan dan inovasi melalui perencanaan nasional yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Selain itu bisa pula ditindaklanjuti dengan pemberian insentif untuk riset strategis dan startup teknologi nasional yang berorientasi pada kebutuhan pertahanan dan ketahanan nasional. Selanjutnya, pendidikan bela negara berbasis teknologi dan digital literacy di semua jenjang pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia jangka panjang juga harus dilakukan.
Skenario Desain Kebijakan Publik
Desain kebijakan publik yang mendukung peran strategis Sishankamrata dalam kedaulatan teknologi nasional diarahkan untuk menciptakan sistem mobilisasi semesta yang berbasis pada kekuatan rakyat, termasuk kalangan akademisi, pelaku industri, komunitas teknologi, dan masyarakat umum. Pendekatan ini bertujuan untuk mengintegrasikan pertahanan dan inovasi nasional, sekaligus membentuk ekosistem teknologi yang berdaulat.
Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam penguasaan teknologi strategis, serta membangun kapasitas kolektif dalam perlindungan terhadap aset-aset teknologi nasional. Untuk mencapainya, kebijakan ini memfokuskan pada empat sasaran strategis: pertama, pengembangan sumber daya manusia unggul di bidang teknologi yang memiliki kesadaran bela negara; kedua, pembangunan infrastruktur riset dan keamanan siber; ketiga, penguatan industri teknologi dalam negeri, termasuk startup dan UMKM teknologi; dan keempat, peneguhan kedaulatan digital melalui perlindungan data dan pengembangan kecerdasan buatan berbasis nilai-nilai kebangsaan.
Kebijakan ini akan melibatkan berbagai aktor kunci. Kementerian Pertahanan akan berperan dalam mengintegrasikan aspek pertahanan dan teknologi, BRIN dalam memfasilitasi riset strategis, Kementerian Kominfo dalam regulasi digital, dan Kementerian Pendidikan dalam menanamkan kurikulum bela negara berbasis teknologi. Sementara itu, kolaborasi antara TNI, perguruan tinggi, dan industri (triple helix) akan menjadi motor penggerak utama dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Agar dapat berjalan efektif, kebijakan ini dilengkapi dengan sejumlah instrumen penting, termasuk regulasi nasional baru tentang kedaulatan teknologi, insentif fiskal bagi riset pertahanan dan inovasi strategis, pembentukan Digital Defense Corps, serta pelaksanaan program Tekno-Kampung Mandiri yang mendorong inovasi berbasis komunitas di daerah.
Implementasi kebijakan ini akan dijalankan melalui dua model: integrasi vertikal (dari pusat hingga ke desa dan komunitas teknologi), dan kolaborasi horizontal antar sektor (TNI, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat). Monitoring dan evaluasi dilakukan melalui audit teknologi tahunan serta platform nasional yang memantau indikator-indikator utama seperti jumlah paten teknologi strategis, indeks partisipasi publik dalam inovasi pertahanan, dan peningkatan TKDN pada produk teknologi nasional.
Desain kebijakan publik terkait peran strategis Sishankamrata dalam mendukung kedaulatan teknologi nasional, disusun secara mendalam, tegas, luas, dan lugas. Hal ini bisa terlihat dari beberapa aspek kunci :
Pertama, Sishankamrata adalah landasan strategis untuk membumikan kebijakan teknologi sebagai bagian dari pertahanan nasional yang menyeluruh. Prinsip semesta dari Sishankamrata wajib diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan yang melibatkan seluruh unsur bangsa dalam pengembangan dan perlindungan teknologi strategis.
Kedua, negara harus menempatkan teknologi sebagai instrumen kedaulatan, bukan sekadar alat produksi ekonomi. Kebijakan publik harus memastikan bahwa teknologi nasional berkembang secara otonom dan aman dari intervensi asing.
Ketiga, desain kebijakan publik berbasis Sishankamrata menuntut sinergi total lintas sektor: pertahanan, pendidikan, riset, ekonomi, dan komunitas digital. Perlu perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan tujuan pertahanan, kedaulatan digital, dan daya saing teknologi dalam satu narasi kebijakan negara.
Keempat, partisipasi rakyat adalah pilar utama dalam kebijakan penguatan teknologi nasional. Negara harus menciptakan kebijakan yang membuka ruang partisipasi melalui insentif, edukasi, dan regulasi yang inklusif.
Kelima, literasi bela negara harus diperluas ke dalam ranah digital dan teknologi.
Bela negara hari ini bukan hanya tentang angkat senjata, tapi juga bela data, bela inovasi, dan bela kedaulatan teknologi.
Keenam, kebijakan litbang dan industri teknologi nasional perlu didorong dengan model pembiayaan strategis dan perlindungan regulatif. Pemerintah harus memastikan anggaran riset strategis minimal 1% dari PDB serta membangun sistem insentif fiskal dan perlindungan hukum untuk teknologi dalam negeri, khususnya yang mendukung pertahanan dan keamanan.
Ketujuh, sishankamrata dalam konteks teknologi menuntut pembentukan kelembagaan baru yang lintas fungsi dan berorientasi kedaulatan. Perlu ada lembaga koordinatif antar kementerian yang memayungi strategi kedaulatan teknologi nasional dengan pendekatan pertahanan semesta.
Kedelapan, evaluasi menyeluruh terhadap ketergantungan teknologi asing harus menjadi indikator tetap dalam audit kebijakan nasional. Pemerintah wajib mengintegrasikan pengukuran teknologi dependency index dalam seluruh sektor strategis, termasuk pertahanan, pendidikan, kesehatan, dan energi.
Kesembilan, kedaulatan teknologi adalah amanat konstitusi dalam menjaga keutuhan, kemandirian, dan masa depan bangsa. Kebijakan publik harus diarahkan pada pembentukan ekosistem semesta untuk melindungi dan membesarkan teknologi bangsa sendiri.
Pada akhirnya, dengan memperkuat kebijakan dan ekosistem teknologi nasional yang berpijak pada prinsip-prinsip Sishankamrata, Indonesia tidak hanya mampu mempertahankan diri dari ketergantungan dan ancaman teknologi asing, tetapi juga menjadikan teknologi sebagai pilar utama dalam pembangunan bangsa yang berdaulat dan mandiri.