Hybrid dan Pertahanan

Membangun Pemuda Perbatasan di Kepulauan Riau

Oleh : Dr. Alfiandri, M.Si

(Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji)

Kepulauan Riau (Kepri) yang merupakan wilayah strategis dan berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Kedekatan budaya dan ekonomi dengan negara tetangga menimbulkan tantangan tersendiri, terutama bagi generasi muda. Mereka kerap mengalami dilema identitas akibat interaksi lintas batas yang intens. Mereka hidup dalam ruang sosial yang bercampur antara pengaruh budaya Melayu lokal dan ekspansi nilai-nilai global yang masuk melalui jalur perbatasan, seperti Batam dan Tanjung Balai Karimun. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut oleh sosiolog Pierre Bourdieu (1984) sebagai “distingsi simbolik” di mana akses terhadap modal sosial dan budaya sangat menentukan posisi pemuda dalam struktur sosialnya.

Fragmentasi sosial juga terlihat dari polarisasi antara pemuda yang memiliki akses ke sektor industri (khususnya di Batam) dan mereka yang hidup di pulau-pulau kecil seperti Tambelan, Serasan, atau Natuna yang lebih terisolasi. Belum lagi jika dilihat dari aspek nilai Melayu yang dikenal dengan adat, seni tradisi, gotong royong, dan musyawarah, kemudian harus berhadapan dengan segala kosmopolitanisme. Generasi muda di wilayah perbatasan mengalami tantangan besar dalam melestarikan nilai-nilai tersebut karena lemahnya transmisi budaya antar-generasi, serta derasnya arus budaya digital dan hiburan luar yang masuk tanpa filter.

Dalam perspektif kebijakan publik, tantangan utama adalah lemahnya desain dan implementasi kebijakan yang inklusif bagi pemuda perbatasan. Banyak kebijakan pusat tidak menjangkau kebutuhan spesifik wilayah maritim perbatasan. Sebagai contoh, program kepemudaan dari Kemenpora dan pemerintah daerah masih bersifat seremonial dan belum mampu menyentuh aspek pemberdayaan berkelanjutan. Demikian pula, program pelatihan vokasional masih minim keterpaduan antara kebutuhan lokal (perikanan, pelayaran, wisata bahari) dengan pelatihan yang diberikan.

Fragmentasi kelembagaan antar instansi pusat dan daerah turut memperburuk situasi. Tidak adanya kerangka kebijakan lintas sektor yang mengintegrasikan pendidikan maritim, pelatihan kerja berbasis lokalitas, serta dukungan inkubator kewirausahaan di pulau-pulau kecil menjadikan pemuda perbatasan sering menjadi kelompok marginal yang hanya dijadikan objek pembangunan, bukan subjek aktif dalam prosesnya.

Realitas pemuda perbatasan di Kepri merupakan hasil dari interaksi rumit antara faktor sosiologis, antropologis, dan kebijakan publik yang belum sinergis. Untuk itu, perlu pergeseran paradigma pembangunan kepemudaan di wilayah perbatasan dari pendekatan top-down menuju community-based youth empowerment. Kebijakan yang integratif, berbasis lokalitas, serta berorientasi pada regenerasi budaya dan ekonomi menjadi kebutuhan mendesak. Seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens (1991), “Generasi muda adalah aktor perubahan dalam dunia yang terus bertransformasi; namun tanpa struktur yang mendukung, mereka hanya menjadi penonton dari arah sejarahnya sendiri.”

Pemuda Kepri dalam Dialektika Identitas

Di hamparan gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di utara Indonesia, Kepulauan Riau (Kepri) tidak hanya menjadi ruang geostrategis yang vital, tetapi juga panggung dialektika identitas yang kompleks, khususnya bagi generasi muda yang hidup di wilayah perbatasan. Pemuda Kepri tidak sekadar pewaris tanah air yang kaya budaya dan potensi ekonomi maritim, tetapi juga aktor aktif dalam proses negosiasi identitas yang dinamis di tengah arus globalisasi, nasionalisme, dan tekanan lintas batas.

Hal ini tidak jarang menimbulkan paradoks sosial. Identitas lokal yang semestinya menjadi fondasi kepercayaan diri pemuda, seringkali tersubordinasi oleh hegemoni identitas global yang lebih dominan dan atraktif. Ironisnya, dalam beberapa kasus, pemuda Kepri justru lebih fasih dengan kultur pop luar negeri dibanding narasi sejarah dan budaya lokalnya sendiri. Identitas tidak bersifat tunggal atau statis, melainkan hibrid, lentur, dan penuh dialektika.

Namun demikian, dinamika ini juga membuka peluang afirmatif. Munculnya gerakan komunitas pemuda lokal yang mengangkat kembali narasi budaya Melayu, kampanye digital tentang sejarah perbatasan, serta partisipasi aktif dalam forum-forum kepemudaan lintas negara menunjukkan bahwa pemuda Kepri memiliki kapasitas adaptif dalam merawat identitas sekaligus bersaing secara global. Identitas mereka dibentuk bukan hanya oleh asal-usul etnik dan geografis, tetapi juga oleh kesadaran kritis atas peran mereka dalam menjaga integritas nasional dan membentuk masa depan kawasan.

Pemuda di wilayah perbatasan Kepri merupakan subjek sosial yang bergerak dalam ruang perbatasan fisik dan simbolik. Mereka berada di antara wacana nasionalisme yang menuntut loyalitas, dan realitas lintas batas yang menuntut keterbukaan.

Penting kiranya negara hadir dalam proses ini. Pendidikan kontekstual yang mengintegrasikan sejarah lokal, penguatan kapasitas pemuda dalam kewirausahaan maritim, hingga pelibatan aktif dalam diplomasi perbatasan menjadi instrumen penting untuk memperkuat identitas dan daya saing pemuda. Sebab, di tangan merekalah perbatasan bukan hanya menjadi batas, tetapi menjadi jembatan peradaban.

Upaya Mitigasi dan Penguatan Nasionalisme

Mitigasi terhadap potensi disorientasi nasionalisme pemuda di wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang holistik dan kontekstual. Salah satu upaya utama adalah membangun kesadaran kritis pemuda melalui pendidikan kebangsaan yang berbasis lokalitas. Kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai sejarah perjuangan lokal, tokoh-tokoh nasional dari Kepri, serta potensi maritim yang strategis dapat menjadi jembatan antara identitas nasional dan realitas lokal yang mereka hadapi. Pendidikan ini tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga melalui pelatihan kepemudaan, kemah bela negara, dan kegiatan sosial kemasyarakatan yang membentuk karakter kolektif dan kepedulian sosial.

Upaya mitigasi juga menyasar aspek ketahanan sosial dan ekonomi. Wilayah perbatasan rentan terhadap infiltrasi ideologi dan praktik ilegal seperti penyelundupan, peredaran narkoba, dan kerja migran ilegal. Oleh karena itu, pemberdayaan pemuda melalui pelatihan keterampilan berbasis potensi lokal seperti ekonomi perikanan, pariwisata bahari, teknologi kelautan, hingga digitalisasi UMKM menjadi strategi efektif. Program-program ini tidak hanya menguatkan ketahanan ekonomi, tetapi juga membangun rasa memiliki terhadap wilayah dan negara.

Penguatan nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari kehadiran negara secara nyata di wilayah perbatasan. Pemerintah pusat dan daerah harus hadir dengan infrastruktur yang memadai, akses pendidikan tinggi, layanan kesehatan, dan sarana komunikasi yang merata. Kehadiran TNI dan Polri yang humanis serta kolaboratif juga penting dalam membangun rasa aman dan kepercayaan terhadap institusi negara. Pemuda di Kepri tidak lagi melihat pusat kekuasaan sebagai entitas jauh dan asing, melainkan sebagai bagian dari sistem yang hadir dan peduli terhadap kehidupan mereka.

Upaya nyata, strategi mitigasi dan penguatan nasionalisme pemuda di Kepri harus berpijak pada keadilan pembangunan, penguatan partisipasi politik, dan pengakuan terhadap identitas kultural lokal sebagai bagian dari mozaik kebangsaan. Membangun pemuda perbatasan yang tangguh secara ideologi, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter secara sosial merupakan fondasi penting untuk memastikan bahwa wilayah perbatasan Kepri bukan hanya sebagai “halaman belakang” bangsa, tetapi sebagai etalase kedaulatan Indonesia yang modern, inklusif, dan berkelanjutan.

Peran Pemerintah dan Kolaborasi Multisektor

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab utama dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pemberdayaan pemuda perbatasan. Ini mencakup penguatan akses pendidikan, pelatihan keterampilan berbasis potensi lokal (seperti kelautan, pariwisata bahari, teknologi digital), dan penyediaan infrastruktur konektivitas yang mendukung mobilitas serta interaksi sosial-ekonomi. Dalam konteks Kepri, kebijakan afirmatif seperti alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan kepemudaan, fasilitasi program kewirausahaan maritim, dan penyelenggaraan pelatihan vokasional berbasis desa menjadi langkah awal yang harus dikembangkan secara progresif.

Namun, pemerintah tidak dapat berdiri sendiri. Diperlukan pendekatan kolaboratif yang melibatkan sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas lokal dalam kerangka penta-helix governance. Misalnya, sektor swasta dapat menjadi mitra strategis dalam inkubasi usaha mikro pemuda atau penyediaan akses magang industri. Sementara itu, perguruan tinggi dapat mendorong riset-riset aplikatif tentang pemuda perbatasan dan menjadi pusat inovasi kebijakan. Organisasi masyarakat sipil dan komunitas adat lokal berperan penting dalam menjaga identitas budaya dan nilai kearifan lokal yang menyatu dalam pembangunan karakter pemuda.

Konteks Kepri yang bercirikan kemaritiman, pluralitas budaya, dan dinamika sosial-ekonomi yang unik memerlukan pendekatan kontekstual dalam menyusun program kolaboratif. Misalnya, inisiatif seperti Maritime Youth Camp, Youth Border Innovation Forum, atau Gerakan Pemuda Bahari Digital dapat menjadi wadah konkret pengembangan potensi, literasi kebangsaan, dan daya saing pemuda dalam menghadapi tantangan era digital dan globalisasi. Peran aktif para pemuda dalam menjaga keamanan perbatasan non-militer, seperti mencegah praktik perdagangan ilegal, narkoba, dan penyelundupan, juga perlu difasilitasi dalam bentuk pelatihan literasi hukum dan partisipasi dalam sistem keamanan komunitas (community-based surveillance).

Keberhasilan pemberdayaan pemuda di wilayah perbatasan seperti Kepri tidak hanya diukur dari sejauh mana mereka mampu mengakses sumber daya, tetapi juga dari kemampuan mereka untuk menjadi aktor-aktor strategis dalam menjaga kedaulatan, mendorong pembangunan inklusif, dan memperkuat identitas nasional di tengah arus globalisasi. Oleh karena itu, sinergi pemerintah dan multisektor menjadi kunci utama dalam membentuk pemuda perbatasan sebagai simbol harapan masa depan Indonesia yang berdaulat, maju, dan berdaya saing global.

Dalam konteks geopolitik dan geososial Indonesia, wilayah perbatasan seperti Kepulauan Riau (Kepri) memiliki signifikansi strategis, baik sebagai garda terluar kedaulatan negara maupun sebagai simpul interaksi lintas budaya yang intens. Namun, dinamika sosial dan kebijakan publik yang hadir sering kali belum mampu merangkul dan memberdayakan potensi pemuda secara optimal di wilayah tersebut. Penting dikembangkan ekosistem sosial yang memperkuat jejaring sosial lokal, melalui forum pemuda, pelatihan keterampilan komunitas, dan program kolaboratif lintas pulau yang menumbuhkan solidaritas berbasis lokalitas.

Sementara keberagaman etnis dan adat budaya di Kepri menjadi kekayaan yang belum sepenuhnya dijadikan modal sosial. Rekonstruksi budaya lokal yang hidup (living culture) melalui revitalisasi nilai-nilai adat, bahasa ibu, dan praktik sosial komunitas dapat menjadi landasan penguatan identitas kultural pemuda.

Afirmasi program yang spesifik bagi pemuda perbatasan, bukan sebagai pelengkap dalam agenda pembangunan nasional, tetapi sebagai subjek utama transformasi wilayah. Program seperti “Desa Pemuda Digital”, “Beasiswa Perbatasan”, hingga “Inkubator Bisnis Maritim Muda” dapat menjadi instrumen afirmatif yang berdampak langsung.

Penguatan pemuda tidak bisa hanya top-down, melainkan harus bersifat deliberatif, di mana suara dan aspirasi pemuda menjadi bagian dari proses perumusan dan evaluasi kebijakan publik. Model governansi berbasis komunitas, seperti pembentukan Dewan Pemuda Perbatasan atau Forum Dialog Kepemudaan Maritim, menjadi penting untuk menjamin adanya saluran resmi partisipasi.

Pemuda perbatasan bukan sekadar kelompok demografis yang harus “dibina”, melainkan subjek historis dan politis yang mesti diberdayakan secara kontekstual. Rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi kerangka berpikir dan bertindak dalam memperkuat eksistensi pemuda Kepri sebagai aktor pembangunan yang berdaulat, tangguh, dan berakar kuat pada nilai-nilai lokal serta nasional.

Terakhir, mitigasi dialektika regional di kalangan pemuda perbatasan Kepri memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat, dan komunitas lokal. Penguatan identitas kebangsaan, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan akses terhadap pendidikan dan informasi menjadi kunci dalam membentuk generasi muda yang tangguh dan berkomitmen terhadap keutuhan NKRI

Scroll to Top