Oleh : Kunto Arief Wibowo
Dinamika keamanan global seperti konflik terbuka, persaingan sumber daya, dan peningkatan ancaman non-konvensional (cyberwarfare, hybrid threats) menuntut sistem pertahanan yang lebih lincah dan menyatu dengan infrastruktur sipil dan ekologis. Dalam konteks ini, pembangunan infrastruktur yang tangguh menjadi tulang punggung dari kemampuan negara untuk bertahan, merespons, dan pulih dari berbagai gangguan sistemik.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi tantangan ganda: letak geografisnya yang strategis sekaligus rentan. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang lebih dari 99.000 km, Indonesia memiliki posisi kunci dalam lalu lintas maritim global dan pengendalian chokepoints strategis seperti Selat Malaka, Selat Sunda, dan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Namun, posisi ini juga mengandung kerentanan tinggi terhadap infiltrasi asing, penyelundupan, degradasi sumber daya laut, dan ancaman militer asimetris.
Lebih lanjut, Indonesia dengan karakteristik geografis sebagai negara kepulauan yang kompleks, menghadapi tantangan yang khas dan berlapis. Wilayah-wilayah perbatasan laut yang luas, ribuan pulau kecil tak berpenghuni, serta distribusi sumber daya yang tidak merata menciptakan lanskap yang secara geografis kaya, tetapi juga menuntut infrastruktur yang tangguh dan adaptif.
Infrastruktur dalam arti luas telah menjadi medium penghubung antara strategi militer, perlindungan lingkungan, dan kohesi sosial. Pangkalan militer yang ramah lingkungan, pelabuhan strategis yang terintegrasi dengan sistem pemantauan kelautan, jalan penghubung ke wilayah terpencil yang juga berfungsi sebagai jalur evakuasi bencana, serta pusat komando digital yang mengintegrasikan data lingkungan dan keamanan merupakan contoh nyata bagaimana pembangunan infrastruktur dapat dirancang secara multidimensi.
Di masa kini, infrastruktur telah berevolusi dari sekadar sarana fisik menjadi fondasi utama bagi penguatan ketahanan negara dalam dua dimensi strategis yang saling terkait antara lingkungan hidup dan militer. Keduanya bukan lagi domain yang berdiri terpisah, melainkan berada dalam satu kesatuan sistemik yang saling menopang dan menentukan. Ketika negara membangun jalan, pelabuhan, jaringan energi, atau pos pengamatan, maka yang tengah dibentuk bukan hanya akses ekonomi atau mobilitas penduduk, melainkan juga koridor pertahanan, sistem logistik darurat, dan garis depan mitigasi terhadap degradasi lingkungan serta ancaman non-tradisional lainnya.
Ketahanan lingkungan yang meliputi kemampuan menjaga fungsi-fungsi ekologis, menyerap tekanan bencana, dan mempertahankan keberlanjutan daya dukung alam yang berkaitan erat dengan kapasitas logistik, komunikasi, mobilitas militer, dan kedaulatan ruang yang dimungkinkan oleh infrastruktur. Sebaliknya, sistem pertahanan yang terfragmentasi dan tidak didukung oleh konektivitas infrastruktur akan melemahkan kecepatan respons, integrasi komando, dan keberlanjutan strategi pertahanan jangka panjang.
Oleh karena itu, perencanaan infrastruktur nasional membutuhkan pendekatan strategis yang melampaui logika pembangunan ekonomi semata. Diperlukan pendekatan hibrid yang memperhitungkan interkoneksi antara geopolitik, ekologi, keamanan nasional, dan keadilan spasial. Investasi infrastruktur harus diarahkan tidak hanya ke pusat-pusat pertumbuhan, tetapi ke wilayah-wilayah periferal yang memiliki nilai geostrategis dan ekosistem yang krusial.
Komponen Infrastruktur
Komponen-komponen yang membentuk struktur ketahanan ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkelindan dan memperkuat fungsi satu sama lain. Komponen terpenting disini adalah sistem fisik, sosial, ekologis, dan digital yang dirancang dengan kesadaran terhadap ancaman, potensi, dan kebutuhan strategis jangka panjang.
Infrastruktur Fisik. Infrastruktur fisik adalah tulang punggung yang menopang mobilitas, konektivitas, serta distribusi logistik dan energi. Dalam konteks ketahanan militer dan lingkungan, infrastruktur fisik mencakup: a) Jaringan transportasi strategis, meliputi jalan militer, pelabuhan multiperan (commercial-military dual-use), bandara yang dapat digunakan untuk kepentingan sipil dan militer, serta jalur kereta api dan logistik air yang tahan bencana. b) Fasilitas energi mandiri yaitu pembangkit listrik berbasis energi terbarukan yang memperkuat keamanan energi wilayah terpencil dan pulau-pulau terluar. c) Sistem air dan sanitasi khususnya infrastruktur penyediaan air bersih dan sanitasi tangguh, termasuk teknologi desalinasi dan sistem tangkapan air hujan yang mendukung kelangsungan hidup di wilayah kering dan konflik.
Infrastruktur Sosial. Komponen ini mencakup fasilitas yang membentuk dan memelihara kualitas hidup masyarakat serta kesiapan sosial dalam menghadapi ancaman, baik dari alam maupun konflik. Bentuknya antara lain: a) Pusat pelatihan ketahanan masyarakat yaitu tempat pelatihan gabungan masyarakat sipil dan militer untuk mitigasi bencana, pertahanan wilayah, dan pendidikan tanggap darurat. b) Fasilitas kesehatan dual-use, yaitu rumah sakit lapangan, puskesmas tanggap darurat, serta sistem evakuasi medis terpadu yang dapat dioperasikan dalam kondisi krisis. c) Ruang evakuasi dan shelter bencana, khususnya bangunan publik multifungsi yang dirancang tahan gempa, banjir, dan serangan udara, serta dapat dijadikan markas logistik atau titik evakuasi terpadu.
Infrastruktur Ekologis. Ketahanan lingkungan mustahil dicapai tanpa infrastruktur ekologis yang menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan pelestariannya. Komponen ini meliputi: a) Sabuk hijau pesisir dan vegetasi pelindung. b)Tata ruang berbasis ekosistem. c)Teknologi eko-rekayasa, seperti terumbu buatan, bioengineering lereng bukit, serta teknologi pengolahan limbah berbasis lingkungan.
Infrastruktur Digital. Infrastruktur digital merupakan alat komando dan pengawasan lintas sektor yang sangat penting untuk merespons situasi dinamis, yaitu: a) Jaringan komunikasi aman dan terintegrasi. b) Sistem informasi geografis (GIS) dan pemantauan. c) Sensor dan detektor ancaman, seperti perangkat berbasis IoT untuk memantau perubahan suhu laut, kualitas udara, gerakan tanah, serta deteksi dini terhadap pergerakan militer asing atau aktivitas ilegal di perbatasan.
Infrastruktur Legal dan Institusional. Meskipun tidak bersifat fisik, keberadaan kerangka regulasi dan kelembagaan yang kuat juga merupakan bagian dari “infrastruktur lunak” yang krusial. Tanpa tata kelola yang baik, seluruh sistem infrastruktur rentan disalahgunakan, disabotase, atau menjadi beban fiskal negara. Komponen ini mencakup; a) Kebijakan lintas sektor dan lintas kementerian: regulasi yang menyatukan kepentingan lingkungan, pertahanan, maritim, energi, dan sosial dalam satu sistem yang saling mendukung. b) Institusi lokal yang adaptif dan partisipatif.
Center of Gravity Infrastruktur Ketahanan
Dalam teori militer modern dan doktrin geopolitik, center of gravity (CoG) mengacu pada titik kekuatan utama yang menjadi pusat keseimbangan suatu sistem, baik secara fisik maupun konseptual. Dalam konteks infrastruktur untuk ketahanan lingkungan dan militer, center of gravity tidak hanya terletak pada kekuatan tempur atau aset senjata, tetapi pada ketersambungan strategis antara sumber daya, mobilitas logistik, sistem informasi, dan keberlanjutan lingkungan. Wilayah Selat Malaka, Laut Natuna Utara, dan wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah beberapa wilayah yang jadi pusat strategis ini.
Ada tiga titik pusat gravitasi yang menjadi kunci dalam ketahanan berbasis infrastruktur:
Pertama, Integrasi Fungsi Sipil dan Militer. Jalan akses di wilayah perbatasan, misalnya, bukan hanya sebagai jalur patroli militer, tetapi juga sebagai penghubung logistik bahan pangan dan sarana evakuasi warga saat bencana.
Kedua, Kontrol atas Jalur Komunikasi Strategis. Pelabuhan, bandara, dan titik-titik chokepoint (misalnya Selat Malaka dan ALKI) menjadi CoG karena di sanalah lalu lintas perdagangan dan kekuatan militer dapat dikendalikan.
Ketiga, Kekuatan Ekologis yang Terlindungi. Mangrove, hutan bakau, dan ekosistem laut menjadi pelindung pertama dari ancaman tsunami, erosi pantai, atau kerusakan pasokan air. Kehancuran ekologi berarti hilangnya lapisan pertahanan awal, baik dari sisi bencana alam maupun keamanan pangan dan air.
Prioritas Pembangunan dan Potensi Kekuatan
Wilayah Perbatasan dan Pesisir. Daerah seperti Natuna, Talaud, Biak, dan Merauke harus menjadi prioritas dalam pembangunan infrastruktur berbasis ketahanan karena menjadi titik rawan infiltrasi dan pelanggaran wilayah dan memiliki potensi sumber daya alam laut yang besar. Infrastruktur di kawasan ini harus mencakup pelabuhan militer-sipil, pos penjagaan digital, pembangkit energi terbarukan, serta jaringan radar dan pemantauan berbasis satelit.
Pulau-Pulau Kecil Strategis. Prioritas pembangunan pada wilayah ini meliputi: a) Dermaga logistik dengan kapasitas sandar kapal TNI AL dan kapal nelayan. b) Menara pemantau dan pos pengawasan jarak jauh. c) Sistem penyediaan air bersih dan pengolahan limbah yang mandiri. d) Akses internet dan komunikasi nirkabel militer yang tahan gangguan. Potensi kekuatannya terletak pada fungsi proyeksi dan peringatan dini.
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Jalur Laut Strategis. ALKI I, II, dan III, serta wilayah ZEE di Laut Natuna Utara, merupakan prioritas pembangunan karena di sinilah lalu lintas kapal niaga dan militer global melewati wilayah kedaulatan Indonesia. Infrastruktur yang harus dibangun mencakup pangkalan logistik apung (mobile offshore base), kapal patroli cepat berteknologi tinggi, serta sistem pemantauan kelautan berbasis AI dan drone laut (autonomous surface vehicles).
Daerah Rawan Bencana dan Perubahan Iklim: Pembangunan infrastruktur tahan bencana harus menjadi bagian dari sistem ketahanan nasional karena ancaman dari potensi bencana besar (gempa, tsunami, banjir bandang) dapat melumpuhkan pertahanan dan konektivitas strategis.
Ketika pembangunan infrastruktur dirancang secara prioritatif dan terintegrasi, sejumlah potensi kekuatan nasional akan muncul secara simultan. Infrastruktur pertahanan dan lingkungan yang memadai, kontrol atas ruang laut, udara, dan darat dapat ditegakkan secara sah dan efektif.
Potensi kekuatan nasional dari pembangunan infrastruktur strategis dapat dilihat dalam berbagai dimensi yang saling terintegrasi, yaitu :
Pertama, dimensi geopolitik dan geostrategis. Pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan laut dalam, bandar udara internasional, serta koridor logistik lintas pulau memperkuat posisi tawar Indonesia dalam geopolitik regional dan global.
Kedua, dimensi pertahanan dan keamanan nasional. Dengan mendekatkan fasilitas strategis ke wilayah-wilayah rawan, seperti perbatasan atau pulau terluar, negara mampu mempercepat respons terhadap potensi ancaman. Ini mendukung doktrin Sishankamrata, yang menekankan kesiapsiagaan teritorial dan ketahanan lokal.
Ketiga, dimensi ekonomi dan industrialisasi. Kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK), dan pusat logistik nasional menjadi penggerak produktivitas nasional. Distribusi barang dan jasa menjadi lebih cepat dan efisien, meningkatkan daya saing produk lokal di pasar internasional.
Keempat, dimensi sosial-budaya dan kohesi nasional. Pendidikan, kesehatan, dan layanan publik menjadi lebih mudah dijangkau. Ini membangun rasa keadilan sosial dan memperkuat kesatuan bangsa.
Kelima, dimensi keberlanjutan dan ketahanan lingkungan. Infrastruktur strategis yang dibangun dengan pendekatan hijau dan berbasis risiko bencana memberikan kontribusi terhadap daya tahan nasional terhadap perubahan iklim dan bencana alam.
Secara keseluruhan, pembangunan infrastruktur strategis bukan hanya agenda teknokratik, tetapi juga agenda kedaulatan nasional. Setiap jalan, jembatan, pelabuhan, maupun jaringan komunikasi adalah simbol kehadiran negara yang memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik. Dalam kerangka besar pembangunan nasional, infrastruktur strategis adalah center of gravity yang memperkuat seluruh sendi kehidupan bangsa: dari ekonomi hingga pertahanan, dari kohesi sosial hingga diplomasi luar negeri.
Potensi kekuatan nasional dari pembangunan infrastruktur strategis terletak pada kemampuannya menciptakan sistem yang kohesif antara wilayah, sektor, dan kepentingan nasional. Infrastruktur yang dibangun secara inklusif, resilien, dan berorientasi masa depan akan menjadi jembatan menuju kedaulatan ekonomi, pertahanan yang tangguh, dan daya saing global yang berkelanjutan.
Kriteria Wilayah Pembangunan dan Peluangnya
Wilayah pembangunan tidak hanya dipilih berdasarkan letak geografis semata, tetapi juga berdasarkan integrasi antara potensi sumber daya alam, kesiapan infrastruktur, kapasitas sosial masyarakat, serta pertimbangan keamanan dan geopolitik.
Secara umum, kriteria wilayah pembangunan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa indikator utama. a) Potensi sumber daya alam dan lingkungan. b) Konektivitas dan infrastruktur. c) Dinamika kependudukan dan SDM. d) Stabilitas sosial dan keamanan. e) Relevansi strategis dan geopolitik.
Sementara itu, penentuan wilayah pembangunan yang tepat membuka berbagai peluang, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun strategis. Hal ini mencakup beberapa hal yaitu, a) pusat pertumbuhan ekonomi baru (New Emerging Growth Centers). b) Inovasi wilayah dan pengembangan klaster industri. c) Peningkatan daya saing regional dan nasional. d) Pendalaman pasar dan diversifikasi ekonomi. e) Penguatan ketahanan nasional dan integrasi kawasan.
Dengan menerapkan kriteria wilayah pembangunan yang holistik dan berlandaskan data, serta memperhitungkan seluruh peluang yang muncul, pembangunan nasional tidak hanya akan menjadi agenda pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi sarana memperkuat kedaulatan, memperkecil kesenjangan, dan mewujudkan keadilan sosial secara menyeluruh.
Kerawanan Infrastruktur
Ironisnya, infrastruktur juga mengandung kerawanan, seperti kerusakan ekologis akibat pembangunan massif, potensi sabotase dan serangan siber, ketergantungan terhadap rantai pasok asing, vulnerabilitas terhadap bencana (tsunami, gempa, banjir), kegagalan koordinasi antar sektor sipil dan militer. Kerawanan infrastruktur merujuk pada potensi gangguan, kegagalan, atau kerusakan yang dapat menghambat fungsi dan kestabilan infrastruktur akibat faktor internal maupun eksternal.
Secara umum, kerawanan infrastruktur dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori:
Kerawanan fisik dan struktural, yang berkaitan dengan usia, kualitas bahan, kesalahan desain, hingga kerusakan akibat bencana alam seperti gempa, banjir, dan tanah longsor.
Kerawanan teknologis, mencakup keterbelakangan sistem manajemen berbasis digital, lemahnya sistem pengawasan terpadu, dan ketergantungan terhadap teknologi impor tanpa penguasaan penuh oleh sumber daya manusia nasional.
Kerawanan sosial dan politik, mencakup konflik kepentingan dalam perencanaan tata ruang, korupsi dalam proyek pembangunan, ketimpangan akses masyarakat terhadap infrastruktur dasar, serta resistensi sosial atas pembangunan infrastruktur yang tidak partisipatif atau merusak lingkungan.
Kerawanan geopolitik, terutama bagi infrastruktur yang terletak di wilayah perbatasan atau pulau-pulau kecil terluar, yang rentan menjadi objek sabotase, infiltrasi asing, atau klaim kedaulatan oleh pihak luar.
Kerawanan dalam manajemen dan pemeliharaan, seringkali terjadi akibat absennya sistem pemeliharaan terpadu dan minimnya koordinasi antar lembaga.
Kerawanan-kerawanan ini semakin kompleks ketika dihadapkan pada perubahan iklim, urbanisasi ekstrem, dan dinamika ancaman global. Di sinilah pentingnya pendekatan resilient infrastructure, yaitu sistem infrastruktur yang tidak hanya tangguh terhadap gangguan, tetapi juga adaptif terhadap ketidakpastian masa depan.
Rekomendasi
Setidaknya ada tujuh rekomendasi strategis yang bersifat lintas sektor dan lintas fungsi terkait infrastruktur pertananan nasional.
Pertama, bangun pusat-pusat infrastruktur dual use di pulau-pulau strategis. Pembangunan infrastruktur seperti di Natuna, Morotai, dan Biak harus bersifat multifungsi—mendukung kebutuhan sipil (pelabuhan logistik, fasilitas energi terbarukan, pemantauan bencana) sekaligus memenuhi fungsi militer (pos pengamatan, jalur pergerakan taktis, dan pangkalan cadangan).
Kedua, terapkan desain infrastruktur adaptif berbasis risiko iklim dan konflik
Desain dan pembangunan infrastruktur wajib berbasis climate risk assessment dan security vulnerability mapping. Bangunan tahan gempa, dermaga ramah ekosistem, dan sistem kelistrikan modular yang mampu bertahan dari gangguan (disruptive shocks) akan memperkecil risiko kerugian akibat bencana alam maupun serangan non-konvensional.
Ketiga, kembangkan ekosistem teknologi pertahanan-lingkungan dalam negeri.
Pengembangan teknologi dalam negeri perlu difokuskan pada alat pertahanan yang juga berperan dalam konservasi dan monitoring lingkungan, seperti drone laut untuk patroli sekaligus pemantauan terumbu karang, atau sistem radar yang dapat mendeteksi tumpahan minyak dan aktivitas ilegal di laut.
Keempat, perkuat koordinasi kementerian (PUPR, KKP, TNI, KLHK, dan Bappenas)
Ketahanan infrastruktur hanya bisa dicapai jika perencanaan dan pelaksanaannya melibatkan lintas kementerian dan lembaga. PUPR bertanggung jawab dalam aspek teknis infrastruktur dasar, KKP pada keberlanjutan kelautan, TNI dalam integrasi pertahanan, KLHK pada perlindungan lingkungan, dan Bappenas dalam harmonisasi perencanaan strategis nasional.
Kelima, bentuk Badan Otoritas Khusus Infrastruktur Strategis Nasional untuk Kawasan Maritim. Badan ini akan menjadi single window dalam pengelolaan pendanaan, perizinan, standar teknis, serta pengawasan proyek-proyek strategis yang menyangkut pertahanan dan lingkungan hidup di wilayah maritim.
Keenam, integrasikan pelibatan pemuda dan masyarakat lokal sebagai “Komponen Cadangan”. Ketahanan infrastruktur harus dilandasi oleh partisipasi rakyat, khususnya pemuda lokal sebagai komponen cadangan yang memiliki kapasitas teknis dan wawasan kewaspadaan nasional.
Ketujuh, dorong diplomasi infrastruktur dalam kerangka kerja sama Indo-Pasifik yang inklusif dan adil. Indonesia perlu memperkuat posisi strategisnya melalui diplomasi infrastruktur dalam forum kerja sama regional seperti ASEAN, IORA, dan Indo-Pacific Economic Framework.
Melalui ketujuh rekomendasi ini, infrastruktur tidak lagi semata-mata menjadi simbol pembangunan fisik, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk membangun daya tahan negara, baik terhadap gempuran bencana ekologis maupun ancaman geopolitik. Ketahanan lingkungan dan militer harus dilihat dalam satu kerangka kesatuan: menjaga kedaulatan sambil merawat keberlanjutan.