Hybrid dan Pertahanan

Diplomasi Pancasila di Pulau-Pulau Terluar

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Semua kita pasti sudah sangat hapal dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila. Lima sila yang ada sangat representatif menjadi pondasi berbangsa. Mulai dari berketuhanan, berkemanusiaan, persatuan, kerakyatan-kebijaksanaan-bermusyawarah-mufakat, serta punya rasa keadilan secara sosial. Dari masa Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, ini selalu digaungkan.

Seluruh nilai-nilai itu menjadi wajib dan harus terimplementasikan ke seantero negeri. Dari Rondo sampai Merauke semua diikat oleh sakralnya Garuda Pancasila.

Tetapi, tentu ikatan itu bukan semata-mata hiasan di dinding atau sekedar hapalan. Kemampuan dalam mengaplikasikan semua nilai dalam keseharian, itulah yang akan menunjukkan jati diri warga negara yang Pancasilais. Inilah yang kemudian saya sebut dengan Diplomasi Pancasila, terutama pada wilayah-wilayah Pulau Terluar di Indonesia.

Jika ditelusuri melalui aplikasi peta digital bagian atas Pulau Sumatera, ada titik kecil bernama Pulau Rondo, di atas Pulau Sabang. Sebenarnya disinilah titik nol Indonesia. Hanya saja karena sulitnya akses, titik nol dipindahkan ke Sabang. Rondo juga tidak berpenghuni, luasnya hanya 0,5 km2. Sebagai penanda, ada pos TNI AL yang mengukuhkan kedaulatan Indonesia di ujung barat.

Di tempat lain, terdapat Kepulauan Natuna yang berada di wilayah Laut Natuna Utara, sebelah atas Pulau Kalimantan. Wilayah ini dikenal sering menjadi rebutan dan bahkan konflik antar negara (Indonesia, China, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Philipina). Tapi secara hukum internasional, sebenarnya sudah syah bahwa Kepulauan Natuna adalah bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.

Bergerak ke wilayah lain, ada Pulau Karimun yang berbatasan langsung dengan Singapura. Daerah ini tergolong ramai karena memang akses transportasi laut internasional Selat Malaka ada di lokasi ini. Berbagai pengaruh asing sangat mudah masuk dan masyarakat sudah beradaptasi dengan segala perubahannya.

Selain tiga pulau tersebut, banyak pula pulau-pulau terluar baik di dekat Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua ataupun Nusa Tenggara. Semua tampak punya fenomena sama, tertinggal dan terasing.

Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia memang memiliki ribuan pulau baik kecil maupun besar. Jejeran itu membentuk kelompok-kelompok gugusan, yang masing-masing diikat oleh rantai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari semua itu, kelompok pulau besar, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Papua, memang cenderung lebih maju. Populasi masyarakatnya yang banyak serta menjadi pusat segala kegiatan, menyebabkan pembangunan di pulau besar jauh lebih cepat.

Sementara itu pulau-pulau terluar, semacam Rondo, Karimun, Natuna dan banyak lainnya, jauh tertinggal. Padahal jika dilihat dari aspek geografis, justru pulau-pulau terluar itulah yang menjadi terdepan saat berhubungan dengan negara lain. Disitu juga Pancasila harus berdiri dengan kokohnya.

Pada konteks hubungan internasional, diplomasi  pada hakekatnya merupakan seni dalam mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain (SL. Roy, 2021). Diplomasi menjadi sebuah aktifitas yang wajib dilakukan sebuah negara, karena disitu terkait erat dengan kebijakan luar negeri dan kedaulatan sebuah negara.

Dalam suasana keseharian, sebenarnya masyarakat setempat, yang mendiami pulau-pulau terluar sudah melakukan berbagai aktifitas diplomasi, walaupun dalam versinya masing-masing.  Mereka yang tinggal di pulau-pulau tersebut tahu persis bagaimana rasanya hidup berdampingan dengan negara lain, meskipun hanya dipisahkan oleh laut selebar mata memandang.

Nelayan di pulau terluar. Sumber photo : Antaranews
Nelayan di pulau terluar. Sumber photo : Antaranews

Setiap  hari masyarakat ke laut, membentangkan layar, mengarungi samudera. Sehelai Merah Putih berkibar di anjungan kapal. Itulah diplomasi terkuat para nelayan, meneguhkan Pancasila di mata negara lain. Mungkin kapal mereka tak sebesar kapal nelayan asing, tapi mereka tak pernah gentar meski kadang berhadapan dengan kapal perang negara lain. Pancasila dalam versi nelayan.

Pulau-pulau kecil di perbatasan ini dengan kesederhanaan penduduknya memegang peran yang jauh lebih besar daripada yang tampak. Mereka bukan hanya sekedar nelayan, tapi juga cermin hubungan Indonesia dengan negara tetangga. Sering terjadi interaksi di dermaga kecil, di tengah laut,  di antara nelayan dengan nelayan asing, ataupun dengan petugas pos perbatasan. Dalam bahasa yang sederhana namun mengandung makna geopolitik yang dalam. Berkemanusiaan yang adil dan beradab.

Diplomasi di pulau terluar tak bisa dilihat dalam perspektif sederhana. Diplomasi ini menyatu dengan interaksi sosial, pembangunan, pendidikan, kebudayaan, bahkan logistik. Disitulah adanya Keadilan Sosial. Pemerintah Indonesia, selama beberapa dekade terakhir, sudah sangat menyadari ini. Adanya kebijakan pemberdayaan daerah terluar, bahkan sampai membentuk kementerian khusus, adalah tanda bahwa ini penting.

Pembangunan infrastruktur adalah salah satu jalan tercepat, karena persoalan besar wilayah terluar ini adalah akses yang sangat terbatas. Oleh karena itu, saat di Kepulauan Natuna di bangun Bandara Ranai dan fasilitas dermaga di perbaiki, maka itu adalah bukti kehadiran negara. Kehadiran infrastruktur ini adalah pernyataan politik: “Kami hadir, kami peduli.”  Implementasi Pancasila ada disitu, mengukuhkan keadilan sosial sudah dilakukan.

Keterlibatan masyarakat lokal sangat penting. Sejatinya mereka adalah penjaga perbatasan paling depan, walau kadang mereka tidak menyadari. Seorang kepala desa di Pulau Natuna, misalnya, tahu siapa saja yang keluar masuk perairan. Tokoh masyarakat di Pulau Karimun pasti tahu perubahan prilaku anak-anaknya. Mereka itulah sebetulnya duta diplomatik yang nyata, bekerja bukan karena diperintah, tapi karena mencintai tanah mereka.

Gagasan sishankamrata memasukkan keberadaan pulau terluar ini sebagai bagian pertahanan negara yang perlu dikuatkan. Itulah sebabnya kenapa TNI selalu jadi ujung tombak penjaga perbatasan. Tetapi TNI tidak akan bisa berdiri sendiri, karena banyak keterbatasan yang harus dipenuhi.

Langkah pertama yang musti dilakukan adalah membenahi jalur transportasi. Setiap manusia perlu konektifitas, tidak hanya komunikasi tapi juga lalu lintas manusia. Sesuai karakteristik kepulauan, maka penting sekali membenahi infrastruktur dermaga. Mutlak kiranya di setiap pulau terluar tersedia dermaga yang memadai. Dermaga-dermaga inilah yang akan menghubungkan pulau tersebut ke pihak luar, sehingga berbagai akses bisa masuk dengan mudah. TNI akan mempelopori gagasan ini.

Aktifitas nelayan di pulau terluar. Sumber photo : fajar.co.id

Akses transportasi darat di masing-masing pulau adalah prioritas berikutnya, karena banyak jalur ini yang masih sangat terbatas. Sementara akses komunikasi akan beriringan dengan terbukanya jalur transportasi darat. Begitupun sarana prasarana lain akan dengan sendirinya masuk dan berkembang.

Menghadirkan Pancasila sebagai diplomasi pulau terluar tidak sekedar memajang lambang Burung Garuda. Tapi saat warganya mampu mengukuhkan ekonominya dari rongrongan pihak luar, mampu menjaga kebersamaannya, harmonis dan toleran dalam segala perbedaan, serta menjadi ujung tombak saat bernegosiasi dengan warga negara lain, maka disitulah Diplomasi Pancasila sudah berlangsung.

Pembangunan pulau-pulau terluar sejatinya adalah diplomasi bernegara, menekankan kehadiran Pancasila secara praktis. Dari pulau-pulau kecil itu, Pancasila berdiri kokoh, menunjukkan dasar sebagai bangsa yang besar. Dari pantai-pantai yang masih tanpa dermaga, dari sekolah-sekolah yang hanya punya satu guru, dari radar tua yang masih setia berputar—Pancasila hadir sebagai penjaga kedaulatan Indonesia.

Scroll to Top