Oleh : Kunto Arief Wibowo
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki laut sebagai jantung kehidupan dan peradaban. Dengan luas wilayah laut lebih dari 6,4 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 108.000 kilometer, kekayaan maritim Indonesia mencakup tidak hanya sumber daya alam, tetapi juga keanekaragaman budaya, potensi wisata, serta posisi strategis dalam geopolitik global. Namun, kekayaan ini menghadapi berbagai ancaman; mulai dari pencemaran, penangkapan ikan ilegal, eksploitasi berlebih, hingga perubahan iklim. Di sisi lain, pendekatan pembangunan yang tidak terintegrasi seringkali gagal menjaga keberlanjutan laut sebagai ekosistem maupun ruang hidup masyarakat pesisir.
Dalam konteks ini, pendekatan kolaboratif berbasis sport, ecology, dan tourism menjadi solusi inovatif. Dengan menjadikan olahraga laut dan ekowisata sebagai medium edukasi serta pemberdayaan masyarakat, Indonesia dapat membangun kesadaran kolektif sekaligus memperkuat ketahanan wilayah maritim. Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I (Kogabwilhan I), yang meliputi kawasan strategis seperti Natuna dan Kepulauan Riau, menunjukkan potensi besar sinergi ini dalam mendukung agenda “Jaga Laut Indonesia”.
Laut sebagai Ruang Strategis, Sosial, dan Ekonomi
Wilayah kerja Kogabwilhan I mencakup bagian barat Indonesia, termasuk Provinsi Kepulauan Riau, Sumatra bagian utara, dan perairan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kawasan ini memiliki signifikansi ganda: sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya laut dan sebagai perbatasan strategis pertahanan negara. Isu masuknya kapal asing di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna Utara menjadi peringatan bahwa kedaulatan maritim bukan hanya masalah militer, tetapi juga menyangkut kehadiran sipil yang kuat di wilayah tersebut.

Di sisi lain, masyarakat di wilayah ini menggantungkan hidup dari laut. Perikanan tangkap, budidaya laut, transportasi, dan pariwisata menjadi penggerak utama ekonomi lokal. Namun, eksploitasi berlebih dan minimnya kontrol ekologi mengancam keberlanjutan sumber daya tersebut. Maka dari itu, pendekatan pelestarian yang bersinergi dengan aktivitas ekonomi menjadi kebutuhan mutlak.
Olahraga Bahari sebagai Media Ketahanan Sosial dan Edukasi Ekologis
Olahraga bahari berkembang pesat di wilayah Kogabwilhan I, terutama di Kepulauan Riau dan Natuna. Lomba perahu layar tradisional, renang laut, selam bebas, hingga triathlon pantai telah menjadi agenda tahunan yang tidak hanya menarik wisatawan tetapi juga memperkuat jati diri maritim masyarakat lokal. Misalnya, di Pulau Penyengat dan Pulau Bintan, berbagai event olahraga air diselenggarakan sebagai bagian dari promosi budaya dan wisata.
Lebih dari sekadar kegiatan rekreasi, olahraga laut dapat menjadi alat pendidikan ekologi. Banyak event di kawasan ini yang disertai kampanye pelestarian laut, seperti aksi bersih pantai dan penanaman mangrove. Kegiatan ini bukan hanya meningkatkan kesadaran lingkungan, tetapi juga memperkuat keterlibatan masyarakat dan komunitas olahraga dalam menjaga ekosistem maritim.
Keterlibatan TNI juga penting dalam mendorong olahraga maritim sebagai bentuk kehadiran negara yang humanis. Contohnya, dalam peringatan HUT TNI AL di Natuna, diadakan olahraga bersama masyarakat dan kegiatan bersih laut yang menyatukan aparat, pemuda, dan masyarakat pesisir. Inisiatif ini menunjukkan bahwa ketahanan nasional dapat dibangun melalui pendekatan budaya dan sosial, bukan hanya kekuatan militer.
Ekowisata laut berkembang di beberapa titik strategis wilayah kerja Kogabwilhan I. Di Kabupaten Natuna, terdapat program konservasi Dugong dan pengelolaan padang lamun yang digagas bersama masyarakat dan organisasi lingkungan. Sementara di Bintan dan Batam, wisata mangrove dan snorkeling berbasis komunitas telah memberikan dampak ekonomi positif bagi warga pesisir.
Program “Desa Wisata Bahari” yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah menjangkau wilayah ini. Salah satu contohnya adalah desa wisata di Pulau Mapur, Bintan, yang menekankan konservasi terumbu karang dan pemberdayaan nelayan sebagai pemandu wisata. Dengan melibatkan masyarakat lokal secara aktif, program ini tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat maritim.
Peran militer melalui Kogabwilhan I juga terlihat dalam pendekatan pertahanan nirmiliter, yaitu dengan mendukung pemberdayaan masyarakat pesisir melalui edukasi, pengawasan, dan kerja sama lintas sektor. Strategi ini menjadi bagian dari implementasi konsep Total Defense System (Sishankamrata), di mana rakyat, alam, dan negara bersatu menjaga kedaulatan.
Strategi Integratif “Jaga Laut” dalam Perspektif Sport–Ecology–Tourism
Program “Jaga Laut” merupakan inisiatif strategis yang menempatkan laut sebagai pusat keseimbangan ekologis, penguatan ekonomi biru, serta ruang strategis pertahanan negara. Dalam perspektif integratif Sport–Ecology–Tourism, pendekatan ini tidak hanya menekankan aspek konservasi lingkungan laut, tetapi juga mendorong pemanfaatan ruang laut secara produktif dan berkelanjutan melalui kegiatan olahraga bahari dan pariwisata berbasis ekologi. Pendekatan ini merefleksikan sinergi lintas sektor yang sangat relevan dalam menjawab tantangan krisis ekologi, degradasi lingkungan pesisir, serta penguatan ketahanan sosial masyarakat pesisir.
Sinergi antara sport, ecology, dan tourism di wilayah kerja Kogabwilhan I bukanlah sekadar potensi, tetapi telah menunjukkan hasil konkret. Misalnya, pengembangan Bintan Ocean Sport Week menggabungkan event olahraga internasional dengan kampanye pelestarian laut. Festival ini tidak hanya mendatangkan wisatawan mancanegara, tetapi juga menjadi ajang promosi budaya dan edukasi lingkungan bagi generasi muda.
Di Natuna, pengembangan ekowisata berbasis konservasi laut menjadi cara memperkuat kehadiran masyarakat di daerah perbatasan. Kehadiran wisatawan, ilmuwan, dan komunitas pencinta lingkungan menjadi simbol pengukuhan kedaulatan Indonesia secara non-konfrontatif.
Untuk memperkuat gerakan “Jaga Laut”, dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi: mulai dari dukungan infrastruktur, insentif bagi pelaku wisata ramah lingkungan, hingga kurikulum pendidikan maritim di sekolah-sekolah pesisir. Literasi maritim harus diperkuat agar masyarakat tidak hanya mengenal laut sebagai sumber nafkah, tetapi juga sebagai identitas dan tanggung jawab kolektif bangsa.
Dari sisi sport, laut bukan sekadar bentang alam, tetapi juga arena kompetisi dan pembinaan olahraga seperti selancar, dayung, layar, renang perairan terbuka, hingga triathlon. Kegiatan olahraga air memiliki potensi besar dalam membangun kesadaran kolektif masyarakat, khususnya generasi muda, untuk mencintai laut sekaligus menjaga ekosistemnya. Selain itu, olahraga bahari dapat menjadi sarana diplomasi lunak yang mempererat hubungan antardaerah bahkan antarnegara melalui festival maritim dan kompetisi internasional, memperkuat citra Indonesia sebagai negara kepulauan yang dinamis dan terbuka.
Dalam aspek ecology, strategi “Jaga Laut” menekankan pentingnya rehabilitasi terumbu karang, restorasi hutan mangrove, pelestarian padang lamun, serta pengendalian pencemaran laut. Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan juga melibatkan komunitas lokal, nelayan tradisional, dan relawan lingkungan. Kegiatan seperti adopsi terumbu karang, penanaman mangrove bersama komunitas selam, dan patroli ekologi laut menjadi bentuk nyata partisipasi publik dalam menjaga keberlanjutan sumber daya pesisir.
Sementara itu, pada aspek tourism, pendekatan ekowisata laut diarahkan pada penciptaan pengalaman wisata yang edukatif dan ramah lingkungan. Zona-zona wisata seperti taman laut, pulau konservasi, dan desa wisata bahari menjadi laboratorium hidup untuk mengenalkan pentingnya menjaga ekosistem laut melalui wisata yang bertanggung jawab. Aktivitas snorkeling, diving, sailing, dan pengamatan satwa laut dikemas dalam narasi konservasi yang mengedepankan kearifan lokal serta memperkuat ekonomi masyarakat.
Dengan integrasi ketiga pilar tersebut, “Jaga Laut” menjadi strategi lintas sektoral yang tidak hanya menjaga laut dari ancaman kerusakan, tetapi juga memperkuat daya saing wilayah pesisir sebagai pusat aktivitas ekonomi, ruang sosial budaya, serta benteng pertahanan bangsa.
Tampak bahwa aktifitas Kogabwilhan I memperlihatkan pendekatan integratif melalui olahraga laut, ekowisata, dan pelestarian lingkungan memiliki dampak positif dalam menjaga laut. Strategi ini bukan hanya memperkuat identitas maritim bangsa, tetapi juga menciptakan ketahanan wilayah melalui sinergi antar elemen negara dan masyarakat.
Dalam perspektif hubungan luar negeri, gagasan “Jaga Laut” dengan integrasi sport, ecology dan tourism, hakekatnya adalah soft diplomacy, menunjukkan keberadaan dan kreatifitas anak bangsa dalam memperlakukan secara positif setiap potensi yang ada.
“Jaga Laut” bukan sekadar slogan, melainkan gerakan nasional yang membutuhkan kolaborasi seluruh komponen bangsa. TNI sebagai pengawal kedaulatan, masyarakat sebagai penjaga ekosistem, dan sektor pariwisata sebagai penggerak ekonomi harus berjalan seiring. Sport, ecology, and tourism bukanlah tiga sektor terpisah, tetapi satu kesatuan strategi dalam merawat laut Indonesia sebagai ruang hidup kita, benteng kedaulatan kita.