Opini

PERINGATAN DARI FILM MISSION IMPOSSIBLE THE FINAL RECKONING: AI BAGI PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL

Oleh : Sheila Maulida Fitri, S.H., M.H  (Advokat dan Akademisi Pemerhati Hukum Kejahatan Siber)

Sejak akhir Mei 2025 Lalu, jagad perfilman dunia dimeriahkan dengan film Mission Impossible dimana Ethan Hunt yang diperankan oleh Tom Cruise Kembali menjalankan misi penyelamatan dunia untuk melawan Artificial Intelijen (AI) alias Kecerdasan Buatan jahat bernama The Entity. The Entity adalah AI yang dikembangkan oleh Amerika Serikat yang awalnya hanya untuk keperluan infiltrasi digital semata. Namun, karena ini adalah AI yang super canggih bahkan dilengkapi dengan kemampuan berpikir maka The Entity justru memiliki tujuan sendiri untuk mengendalikan sistem nuklir dunia. Sistem ini secara sistematis mengambil alih sistem pengendalian bom nuklir setiap negara yang memiliki teknologi tersebut seperti Rusia, Amerika Serikat, China, Prancis, Inggris, Pakistan, India, Israel, dan Korea Utara. Hal ini guna memicu perang nuklir untuk memusnahkan sebagian besar umat manusia di Bumi.

Keberadaan The Entity, nyatanya tidak bisa dianggap sekedar cerita fiksi semata. Apa yang dilakukan oleh The Entity dalam film tersebut justru berpotensi menjadi ancaman nyata di masa depan, apalagi saat ini kita telah memasuki era AI seperti Chat GPT dan deepfake yang semakin canggih dan sulit dibedakan dengan aslinya di dunia nyata. Ancaman dalam film tersebut justru menjadi cerminan ketakutan di dunia nyata. Apalagi negara-negara pemilik teknologi nuklir yang digambarkan dalam film tersebut sesungguhnya bukanlah fiksi, namun senyatanya kondisi saat ini. Indonesia mungkin memang tidak memiliki teknologi nuklir, namun Indonesia dipastikan akan ikut terdampak jika seluruh nuklir tersebut diluncurkan bersamaan dalam satu waktu.

Manfaat AI Dalam Pertahanan Dan Kemanan Siber Negara

Di era digital seperti sekarang ini, penggunaan AI dalam pertahanan dan kemanan siber (Hankam Siber) adalah suatu keniscayaan. Pasalnya, ada banyak manfaat dan kegunaan AI pada ranah tersebut, antara lain (i) AI dapat memantau adanya serangan siber secara real time dengan mempelajari histori pola serangan siber yang pernah terjadi sebelumnya dengan cara identifikasi aktivitas mencurigakan atau adanya anomali yang tidak biasa sebelum serangan terjadi; (ii) AI mampu dengan cepat melakukan tindakan pengamanan secara otomatis ketika ada serangan, sebagai bentuk tindakan pengamanan sebelum terjadi kerusakan system yang lebih meluas; (iii) Pasca adanya serangan, AI bertugas menjadi machine learning guna mempelajari pola serangan siber dalam rangka untuk meningkatkan kemanan di masa mendatang; (iv) Ai juga mampu secara aktif mencari serangan yang tersembunyi yang tidak terdeteksi oleh sistem keamanan siber biasa.

Resiko serangan siber bebrbasis AI

Meski begitu, penggunaan AI bukan tanpa resiko. Karena kecerdasannya, AI bahkan kerap disalahgunakan untuk melakukan serangan-serangan siber seperti (i) Phising, dengan AI phising akan menjadi lebih sulit dikenali mengingat ia mempersonalisasi korbannya dengan lebih detail; (ii) deepfake, Pelaku dapat dengan mudah memperdaya korbannya dengan membuat video atau suara palsu yang tampak nyata; (iii) Serangan Malware yang lebih cerdas karena telah mempersonalisasi korbannya; (iv) Serangan peretasan otomatis dimana Bot AI memiliki kemampuan pemindaian sistem secara cepat dan menemukan celah keamanan.

Dalam film tersebut dapat dipastikan bahwa The Entity melakukan penjebolan dan penerobosan sistem teknologi nuklir milik masing-masing negara pemilik sehingga mampu mengambil alih kendali, atau yang dalam istilah siber dikenal dengan Cracking. Cracking merupakan peretasan sistem komputer atau software dengan tujuan jahat atau illegal dan ini hanyalah salah satu jenis dari banyaknya varian bentuk serangan siber.

Tantangan Optimalisasi Penggunaan AI di Indonesia

Melihat betapa besar manfaat namun juga resiko dalam penggunaan AI di suatu negara, maka sesungguhnya Indonesia sendiri menghadapi tantangan yang sangat besar. Selain sarana prasarana dan SDM yang mumpuni, tantangan penggunaan AI secara teknis adalah pertama, privasi dan etika, para stakeholder dan penyedia diharapkan mampu membuat kebijakan yang etis. Hal ini bukan tanpa sebab, mengingat cara kerja AI dipastikan akan memantau semua aktivitas jaringan dan perilaku pengguna sehingga memilik potensi pelanggaran privasi. Kedua, sebelum digunakan, AI akan dilatih terlebih dahulu untuk mempelajari pola-pola serangan yang terjadi sebelumnya, sehingga membutuhkan data yang akurat. Kualitas data tersebut menjadi sangat penting. Apabila master data yang digunakan untuk melatih tidak mumpuni, maka sangat mungkin terjadi kegagalan AI dalam mendeteksi ancaman yang sebenarnya.

Selain itu, hingga saat ini nyatanya Indonesia juga masih belum memiliki regulasi tentang keberadaan AI. Padahal penggunaan di Indonesia telah sampai pada genggaman masing-masing pengguna ponsel pintar. Satu-satunya pedoman yang ada hanyalah Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika No. 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial (SE). Sangat disayangkan Indonesia tertinggal dari negara-negara yang telah memiliki regulasi dan menerapkannya seperti China, Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada dll.  SE tersebut pun sifatnya hanya anjuran dan tidak memiliki kemampuan mengatur secara paksa atau bahkan memiliki sanksi bagi pelanggarnya karena memang substansi tersebut merupakan ranahnya regulasi pada tingkat Undang-Undang.

Hankam Siber nasional tidak bisa dilakukan sebelah tangan oleh pemerintah dan stakeholder saja, nyatanya masih banyak masyarakat sebagai pengguna ponsel pintar yang belum memperkuat diri dengan edukasi mengenai do and don’ts di ruang siber. Alhasil, tak sedikit pengguna sendiri yang membuka potensi menjadi korban suatu serangan siber

Scroll to Top