Oleh : Kunto Arief Wibowo
Indonesia tidak hanya dikelilingi oleh jalur perdagangan internasional penting seperti Selat Malaka, Laut Natuna, dan Samudera Hindia, tetapi juga berbatasan langsung dengan banyak negara tetangga seperti Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia. Peran perbatasan menjadi sangat vital. Perbatasan bersifat sangat komplek dan multidimensional. Tidak hanya sebagai sesuatu yang terbatas secara spasial atau militeristik semata. Ia telah menjadi bagian integral dari apa yang disebut sebagai perang semesta—sebuah paradigma pertahanan yang melibatkan seluruh komponen bangsa.
Dalam hal ini, perang hanya dalam konflik bersenjata antar dua negara, tapi bisa muncul dalam bentuk perebutan klaim wilayah, infiltrasi ideologi, perdagangan ilegal lintas negara, hingga sabotase yang merusak infrastruktur nasional. Batas negara menjadi titik rawan yang bisa mengancam kedaulatan dan integritas bangsa. Oleh sebab itu menjaga perbatasan tidak bisa hanya diserahkan kepada militer. Mutlak ada keterlibatan seluruh elemen, baik warga setempat sampai pada pemerintah pusat, strategi militer hingga pembangunan sosial budaya. Semangat Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta—atau yang lebih dikenal sebagai sishankamrata ada pada sisi ini.
Ketika berbicara tentang perang perbatasan, maka sesungguhnya kita sedang berbicara tentang perang yang berlapis dan multidimensi. Di satu sisi, ia menyentuh aspek fisik dan militer seperti patroli, penjagaan pos perbatasan, dan deteksi dini terhadap infiltrasi musuh. Di sisi lain, perang perbatasan juga menyentuh ranah ideologi, sosial budaya, dan ekonomi. Ketika masyarakat di perbatasan lebih memilih menggunakan mata uang asing karena minimnya akses terhadap rupiah, ketika anak-anak lebih akrab dengan lagu kebangsaan negara tetangga, atau ketika sistem pendidikan dan kesehatan lebih banyak mengandalkan negara seberang karena ketidakhadiran negara sendiri—di situlah kita tengah berada dalam kondisi “kalah diam-diam” dalam perang perbatasan.
Perang semesta bukan berarti seluruh negeri akan mengangkat senjata, tetapi seluruh komponen bangsa bersatu dalam membentengi kedaulatan melalui segala cara. Mulai dari pendidikan kebangsaan, penguatan ekonomi lokal, pembangunan infrastruktur, hingga pelibatan tokoh agama dan adat. Ketika seorang guru di perbatasan mengajarkan anak-anaknya mencintai tanah air, ketika petani di perbatasan menolak menjual lahannya kepada pihak asing, atau ketika masyarakat adat mempertahankan wilayah ulayatnya dari konversi ilegal—mereka sesungguhnya sedang berperang dalam konteks perang semesta. Mereka bukan hanya menjaga wilayah secara fisik, tetapi menjaga jiwa bangsa itu sendiri.
Dalam kerangka Sishankamrata, upaya menjaga perbatasan harus dilakukan secara sistematis, terus-menerus, dan melibatkan semua pihak. Penting adanya sinergi antara TNI, Polri, pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan dunia pendidikan. Ketika pendekatan keamanan dikombinasikan dengan pendekatan kesejahteraan, maka warga perbatasan akan merasa memiliki negara, dan negara pun hadir secara nyata dalam kehidupan mereka.
Wilayah perbatasan juga sering kali dihadapkan pada tantangan ganda: menjadi halaman depan pertahanan negara, tetapi sekaligus menjadi halaman belakang pembangunan nasional. Tidak jarang masyarakat di sana merasa terpinggirkan, tertinggal, dan tidak dianggap penting. Dalam konteks Sishankamrata, paradoks besar ini harus diatasi.
Salah satu kekuatan dari konsep perang semesta adalah fleksibilitasnya. Ia memungkinkan adaptasi terhadap bentuk ancaman baru yang tidak konvensional. Dalam era sekarang, ancaman terhadap perbatasan tidak hanya datang dari senapan dan kapal perang, tetapi juga dari teknologi, propaganda media, dan serangan siber. Maka pertahanan tidak cukup hanya mengandalkan prajurit dan senjata. Dibutuhkan kecerdasan informasi, kemampuan diplomasi, literasi digital, dan ketahanan budaya.
Sishankamrata bukan sekadar doktrin militer, tetapi adalah filosofi kehidupan berbangsa. Ia menempatkan rakyat bukan sebagai objek yang dilindungi, tetapi sebagai subjek utama pertahanan. Di dalamnya terkandung semangat bahwa sejengkal tanah Indonesia harus dipertahankan oleh semua. Jika perang perbatasan dianggap sebagai tanggung jawab bersama, maka warga yang tinggal di Nunukan, Entikong, Atambua, Merauke, atau pulau-pulau kecil seperti Miangas dan Rote, tidak akan merasa sendiri. Mereka adalah bagian dari strategi nasional.
Tentu ada tantangan dalam merealisasikan konsep perang semesta ini secara utuh. Koordinasi antarlembaga, tumpang tindih kebijakan, keterbatasan anggaran, serta minimnya kesadaran publik adalah sebagian dari tantangan tersebut. Tetapi ini bukan alasan untuk menyerah. Justru dari sinilah lahir panggilan moral bagi semua pihak untuk bergandengan tangan menjaga negeri. Ketika aparat keamanan bersinergi dengan tokoh agama, ketika mahasiswa melakukan KKN di daerah perbatasan, ketika LSM dan dunia usaha hadir dalam pembangunan, maka benteng pertahanan semesta akan terbangun.
Perang perbatasan yang kini kita hadapi adalah perang yang tidak kasat mata. Ia muncul dalam bentuk pelan tapi pasti—dari dominasi ekonomi asing, dari pergeseran budaya lokal, dari kelengahan terhadap ancaman hibrida. Ia adalah perang yang menuntut kewaspadaan konstan dan kesadaran kolektif. Karenanya, hanya dengan semangat perang semesta, di mana seluruh bangsa bergerak dalam satu irama, perang perbatasan dapat dihadapi dengan efektif.
Dalam konteks global saat ini yang semakin dinamis, ancaman terhadap kedaulatan tidak lagi bersifat konvensional. Perang informasi, penguasaan data, hingga kontrol terhadap rantai pasokan global adalah bagian dari “soft invasion” yang bisa mematikan sebuah negara dari dalam. Wilayah perbatasan menjadi titik rentan yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan luar untuk menyusupkan agenda mereka. Oleh karena itu, penting bagi bangsa ini untuk menata ulang orientasi kebijakannya terhadap perbatasan—bukan hanya sebagai benteng pertahanan fisik, tetapi juga sebagai laboratorium kebangsaan dan pusat ketahanan nasional.
Perang perbatasan bukan lagi tentang siapa yang lebih kuat secara militer, tetapi siapa yang lebih tangguh secara kolektif. Dan ketangguhan kolektif itulah yang menjadi ruh dari sishankamrata. Sebuah sistem yang bukan hanya menyatukan senjata dan strategi, tetapi juga menyatukan hati dan tekad seluruh anak bangsa.
Penting untuk disadari bahwa menjaga perbatasan bukan hanya tugas mereka yang ada disana, tapi tugas semua. Perang perbatasan akan terus berlangsung, baik dalam bentuk nyata maupun samar. Tapi selama kita bersatu dalam semangat sishankamrata, selama kita percaya bahwa tanah air ini milik bersama yang harus dijaga bersama, maka tidak ada kekuatan yang bisa mengalahkan kita.
Indonesia bukan hanya negeri yang besar secara geografis, tetapi juga bangsa yang besar karena semangat rakyatnya. Dan semangat itulah yang akan menjadi tameng utama dalam perang perbatasan, dan sekaligus menjadi pondasi kokoh dalam membangun pertahanan semesta yang sesungguhnya.