Hybrid dan Pertahanan

Sinkronisasi Wilayah Perbatasan dan Pemerintahan Daerah dalam Perspektif Pertahanan Militer dan Ekonomi

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Wilayah perbatasan bukan hanya soal penggambaran di atas peta atau batas yuridis semata, melainkan representasi konkret dari eksistensi negara di hadapan dunia luar. Dalam perspektif pertahanan dan ekonomi, wilayah batas adalah elemen vital yang harus disikapi dengan serius dan ditata dengan pendekatan multidimensi. Sayangnya, dalam banyak kasus, pengelolaan wilayah perbatasan di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, seperti sinkronisasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aparat pertahanan.

Ini bukan semata soal kelemahan koordinasi administratif, tapi berkaitan langsung dengan efektivitas negara dalam menjaga integritas dan daya saingnya. Bukan hal baru, pada saat aparat militer masuk ke daerah perbatasan untuk melaksanakan tugas penjaga kedaulatan, dihadapkan dengan kondisi infrastruktur yang sangat terbatas. Mulai dari kondisi jalan yang rusak, logistik terbatas, dan bahkan jaringan komunikasi yang tidak stabil. Secara normatif, tentu bukan tugas tentara untuk membereskan hal itu, tapi fakta di lapangan terkadang mengharuskan TNI untuk bersikap cepat.

Wewenang utama ada di pemerintah daerah setempat. Sayangnya, di beberapa titik,  pemerintah daerah di wilayah perbatasan sering kali memiliki keterbatasan anggaran, keterisolasian wilayah, dan daya tarik ekonomi yang rendah. Akibatnya pembangunan berjalan lambat dan tidak merata. Oleh sebab itu, koordinasi dan keterlibatan pemerintah pusat harus ada. Kendati dalam banyak hal, prioritas program pemerintah pusat lebih banyak terpusat pada program yang strategis secara ekonomi, tapi perhatian terhadap daerah perbatasan mutlak harus ada.

Dalam konteks pertahanan militer, wilayah perbatasan adalah garda terdepan yang mencerminkan kehadiran negara secara nyata. Pos-pos militer, pangkalan TNI, dan jalur patroli perbatasan dibangun bukan hanya sebagai simbol kekuatan, tetapi juga sebagai upaya konkret menjaga keutuhan negara. Namun, fungsi pertahanan ini tidak akan bisa maksimal jika tidak diiringi dengan kehadiran pembangunan ekonomi dan sosial. Pertahanan tidak hanya bersifat militeristik tapi juga mencakup keamanan sosial, ekonomi, dan budaya yang menyeluruh. Ancaman tidak selalu datang dalam bentuk invasi bersenjata, melainkan juga dalam bentuk ketimpangan, keterbelakangan, dan ketidakadilan pembangunan.

Pemerintah daerah memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan sosial dan ekonomi yang stabil di wilayah perbatasan, walaupun kapasitas mereka sering kali terbatas oleh anggaran, kewenangan, dan akses politik. Adanya otonomi daerah cenderung belum mampu menjawab tantangan pembangunan sepenuhnya. Pemerintah daerah kadang terlalu disibukkan dengan urusan-urusan internal, sehingga sulit untuk memaksimalkan proses penguatan pembangunan, terutama sektor fisik. Oleh karena itu, sinkronisasi antara pusat dan daerah menjadi mutlak, agar tidak terjadi kekosongan peran di wilayah yang justru paling membutuhkan kehadiran negara.

Salah satu solusi strategis adalah dengan memperkuat koordinasi antarlembaga. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian PUPR, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan pemerintah daerah harus duduk bersama merancang pembangunan yang tidak tumpang tindih, tidak saling melemahkan, dan memiliki arah yang seragam. Pendekatan ini bukan hanya berbicara soal pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, atau fasilitas umum, tetapi juga mengenai pembangunan sumber daya manusia, pendidikan kewarganegaraan, dan pemahaman terhadap pentingnya kedaulatan wilayah. Masyarakat perbatasan harus dilibatkan sebagai aktor utama, bukan sekadar objek pembangunan. Walaupun sering ada selorohan bahwa yang paling sulit itu adalah Koordinasi, tapi ada baiknya ini tidak dibiarkan begitu saja.

Dari sisi ekonomi, wilayah perbatasan sebenarnya menyimpan potensi besar sebagai pusat pertumbuhan baru. Letaknya yang dekat dengan negara tetangga memberikan keuntungan geografis yang tidak dimiliki wilayah lainnya. Potensi perdagangan lintas batas, pengembangan kawasan industri, wisata lintas budaya, hingga perdagangan komoditas lokal bisa dikembangkan sebagai tulang punggung ekonomi daerah. Tapi jadi rahasia umum juag bahwa potensi ini sering kali tidak terkelola dengan baik. Kurangnya infrastruktur perdagangan, lemahnya regulasi kawasan ekonomi khusus di perbatasan, dan minimnya dukungan dari pemerintah pusat membuat kawasan perbatasan hanya menjadi pasar bagi produk negara tetangga tanpa memiliki daya saing.

Oleh sebab itulah, diperlukan pendekatan ekonomi yang beriringan dengan pendekatan pertahanan. Pembangunan kawasan ekonomi harus memperhatikan aspek keamanan nasional, termasuk kemungkinan penyalahgunaan perdagangan untuk kepentingan ilegal seperti penyelundupan, perdagangan manusia, atau pencucian uang lintas negara. Dalam konteks lain, aparat pertahanan juga harus memiliki pemahaman ekonomi agar dapat berperan sebagai pengaman sekaligus fasilitator pertumbuhan. Ketika pertahanan dan ekonomi dipadukan dalam satu visi pembangunan, maka wilayah perbatasan akan tumbuh sebagai kawasan yang kuat, stabil, dan berdaya saing.

Sinkronisasi tidak hanya bicara soal perencanaan, tetapi juga pelaksanaan dan evaluasi. Pemerintah daerah harus memiliki ruang untuk berinovasi dan beradaptasi dengan kondisi lokal, namun tetap dalam kerangka besar kebijakan nasional. Pusat harus menjadi penyokong dan pengarah, bukan pengontrol yang mengekang kreativitas daerah. Demikian pula dengan aparat militer, mereka harus hadir sebagai mitra pembangunan, bukan institusi yang berdiri di atas masyarakat. Saat semua pihak bekerja dalam semangat kolaboratif, maka pembangunan perbatasan akan berjalan lebih terarah, efektif, dan berkelanjutan. Idealnya seperti itu.

Model pengelolaan perbatasan yang berhasil selalu ditandai oleh adanya kesatuan visi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Negara-negara yang mampu menjaga perbatasannya secara kokoh tidak hanya mengandalkan senjata dan tembok tinggi, melainkan justru membangun kawasan perbatasan sebagai pusat interaksi ekonomi, sosial, dan budaya yang terbuka namun tetap terjaga. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara seperti Malaysia, Vietnam, atau bahkan Uni Eropa yang mampu menjadikan perbatasan sebagai zona dinamis, bukan zona konflik.

Sinkronisasi wilayah perbatasan dan pemerintahan daerah dalam perspektif pertahanan militer dan ekonomi bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak. Ini adalah tantangan lintas zaman, lintas kementerian, dan lintas generasi. Oleh karena itu, diperlukan semangat bersama untuk menyatukan kekuatan demi menjaga kedaulatan dan kesejahteraan bangsa. Perbatasan bukanlah tempat yang jauh dan asing, melainkan bagian dari wajah kita sebagai bangsa yang utuh. Maka, menjaganya adalah bagian dari menjaga diri kita sendiri.

Scroll to Top