Budaya dan Warisan

Pesan-Pesan dari Pengamen

Oleh : Kunto Arief Wibowo

Tentu menjadi sebuah pemandangan biasa jika saat berada di ruang-ruang publik, seperti tempat makan, didatangi oleh seorang ataupun sekelompok pengamen. Dengan kreatifitas dan caranya sendiri, mereka mencoba menghibur pengunjung semaksimal mungkin. Mulai dari lagu dangdut, pop, hingga lagu daerah mereka suguhkan. Mulai dari tema percintaan, kesedihan, kegembiraan, dan bahkan kritik sosial juga kerap diperdengarkan.

Bukan rahasia umum lagi, banyak penyanyi tenar Indonesia, sebetulnya berawal dari jalanan (pengamen). Sebut saja Iwan Fals ataupun alm. Didi Kempot, Rian D’Masiv, serta Ria Valen. Mereka bermula dari jalanan, kemudian mengembangkan sayapnya.

Terkadang masih ada perdebatan, apakah pengamen itu sebuah profesi/pekerjaan ataukah hanya mereka yang dianggap sebagai kelompok PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) versinya Departemen Sosial. Ini masih menjadi perdebatan, ada yang mengaku bahwa mengamen itu adalah pekerjaan, bukan karena pengangguran. Tapi kerap kali sebagian mereka justru kena razia oleh pemerintah karena dianggap merusak ketertiban umum. Tergantung sudut pandang sebenarnya.

Menarik kemudian ketika dicermati bahwa pengamen sebetulnya juga memiliki karakteristik tersendiri. Hasil riset dari Habibullah (2008) menyatakan bahwa ada tiga tipologi pengamen. Pertama, kelompok idealis-ekspresionis. Ciri khasnya, mereka mengamen bukan karena faktor uang tapi untuk mengekspresikan jiwa seni. Alat musik yang digunakan cenderung variatif dan terkadang juga katagori canggih. Kedua, kelompok profesional. Bagi kalangan ini, mengamen betul-betul untuk cari nafkah. Fokusnya adalah mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Ketiga, kelompok fatalistis. Kelompok ini mengamen tidak lebih sekedar iseng, bukan sesuatu yang perlu dikelola dan diseriusi dengan baik. Hasil dari mengamen juga kadang dipakai untuk hal negatif seperti minuman keras dan lain sebagainya.

Tiga kelompok di atas menunjukkan bahwa ada sebagian pengamen yang memang tampil sebagai bentuk kerja yang serius dan perlu keterampilan yang profesional. Ada persiapan khusus yang harus dilakukan, bukan sekedar teriak teriak saja.

Pada kelompok pertama dan kedua, akan tampak bahwa saat mereka tampil tidak biasa-biasa saja. Mulai dari penampilan, alat musik, lagu yang dibawakan, sampai pada komunikasi dengan penonton akan dilatih sedemikian rupa. Intinya mereka berusaha tampil baik karena sadar mereka butuh imbal balik dari penonton, apakah sekedar tepuk tangan ataupun isian kenclengan.

Pada konteks inilah saya merasakan ketertarikan pada pemusik jalanan ini. Di berbagai lokasi penugasan yang pernah dijalani, saya selalu menyempatkan diri bergabung dan ikut menikmati lantunan-lantunan lagu mereka. Bukan tanpa sebab, karena khusus pada kelompok pertama dan kedua, seringkali didapatkan pesan-pesan tertentu, baik karena syair lagunya ataupun karena kreatifitas yang mereka tampilkan.

Khusus mengenai bait lagu yang dinyanyikan, selain tema-tema percintaan, selalu ada lagu-lagu bernada kritik sosial. Kesatiran kadang muncul dari mereka. Lagu ciptaan Iwan Fals adalah yang kerap disenandungkan. Tetapi selain itu, hampir setiap pengamen yang ditemui, mereka selalu punya lagu sendiri yang diciptakan. Lagu ciptaan itupun bukan lagu biasa, kebanyakan adalah keluh kesah tentang kehidupan, ketidakadilan, dan bahkan kezholiman. Mereka mengemasnya dalam lagu, disampaikan ke publik, kemudian dipublikasikan melalui media sosial. Pesan itu harus disampaikan, begitulah kira-kira.

Selain soal bait lagu, hampir semua pengamen yang ditemukan memiliki jiwa kreatifitas dan seni yang tinggi. Kreatifitas ini menonjol tampak dari alat musik yang digunakan serta street performance yang mereka suguhkan. Sebut saja seorang pengamen serba bisa dari Padang Sumatera Barat, yang mengamen sambil membawakan tiga alat musik sekaligus (drum, gitar, harmonika). Tentu bukan sembarang yang mampu melakukan ini, bahkan untuk memikirkan itu saja belum tentu ada.

Begitupun saat menemui pengamen yang membawa boneka manekin di kiri dan kanannya, kemudian melengangg dan melenggok mengikuti irama lagu. Boneka tadi ibaratkan wanita-wanita yang menjadi penari latar dalam penampilannya. Kreatifitas yang mereka suguhkan betul-betul di luar pemikiran umum.

Tampak juga bagaimana seorang pengamen yang berkeliling seperti rombongan orkes. Mereka membawa angklung, gendang, dan tambur. Butuh kerjasama dan kerja keras. Di saat lain ada pula pengamen yang membawa alat drum dari pipa paralon yang dimodifikasi lengkap dengan piringannya. Semua asyik dan begitu mendayu untuk didengar.

Setidaknya saya bisa mencatat hal-hal penting dari para pengamen jalanan ini.

Pertama, kelompok (kelompok pertama dan kedua) ini sebenarnya adalah mereka-mereka yang memang memiliki nilai seni tersendiri. Tempat mereka memang dijalan, tapi kualitas dan kesungguhan jiwa seninya sulit untuk diabaikan.

Kedua, sejatinya merekalah yang paling lantang menyuarakan kritik, ketidakadilan, protes, sekaligus menunjukkan bahwa merekalah yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap persoalan di masyarakat. Pesan-pesan mereka bisa menunjuk ke level pemerintahan tertinggi, bisa juga ke soal-soal keseharian di masyarakat, tak jarang mereka juga menyentil  para koruptor. Ada muatan sosial, budaya dan politik dari lirik yang ditampilkan.

Ketiga, mereka mampu menunjukkan bahwa dalam segala aspek, kreatifitas dan kerja keras adalah segala-galanya. Jangan berhenti di satu titik, kira-kira begitu. Jika ingin sukses dan dirasakan manfaatnya, maka kreatiflah. Apalagi anda sama saja dengan orang lain tak punya kelebihan, maka anda tak akan dapat apa-apa. Harus tampil berbeda, karena itu kreatiflah, berinovasilah pada bidangnya. Para pengamen yang memiliki jiwa seni tersendiri kemudian mewujudkan dengan segala macam trik dan kreasi.

Keempat, soal etos kerja, pengamen adalah cerminan dari kehidupan harus dijalani dengan etos kerja kuat dan semangat pantang menyerah. Bukan rahasia lagi jika kehidupan di jalanan, terminal, adalah kehidupan paling keras. Heterogenitas manusia ada di situ. Pengamen harus hadir dan mampu tampil dalam suasana tersebut dan buktinya mereka memang mampu.

Memang, tidak sedikit pula di antara para pengamen yang kemudian terjebak pada keras dan kelamnya kehidupan jalanan. Oknum-oknum inilah kiranya yang kemudian menciptakan opini buruk tentang para penyanyi mobile ini. Pengamen fatalistik versinya Habibulah (2008).

Tetapi apapun itu, pada para pengamen pelajaran itu bisa diambil. Saya termasuk orang yang banyak belajar dari mereka. Kreatifitas, semangat pantang menyerah, serta kemampuan adaptasi yang tinggi, dari para pengamenlah semua didapat. Tak salah jika kemudian para penyanyi ini bisa dikatagorikan sebagai salah satu komponen cadangan yang strategis untuk pertahanan negara. Kreatifitas dan semangat pantang menyerah, disitulah titik penting Sishankamrata, dan pengamen sudah menunjukkan itu.  

Scroll to Top