OpiniPemberdayaan Masyarakat

Komitmen Yang Harus Terimplementasikan

Sungguh tulisan yang menarik, saat saya membaca Singgalang tanggal 15 Januari 2019 lalu. Seorang tokoh Minang, mantan Gubernur dan juga mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menuturkan semacam kegalauannya tentang ranah Minangkabau beserta masyarakatnya. Tulisan itu pada intinya berkata bahwa saat ini Minangkabau sedang dilanda perubahan. Sekuat apapun gelombang perubahan datang, pondasi rumah janganlah bergeser, adat nan sabana adat jangan berubah. Kira-kira demikian harapan dan kegelisahannya.

Saya bukanlah ahlinya adat Minang dan secara genelogispun saya bukan berdarah Minang. Tetapi saat ini saya ditakdirkan untuk bergaul, mukim, berkolaborasi, dan bertanggungjawab untuk ikut sama-sama memajukan Ranah Bundo Kanduang ini. Tulisan Gamawan Fauzi di atas cukup memberi inspirasi bagi saya bahwa terdapat hal-hal fundamental yang harus jadi catatan serius. Dalam hal ini, saya tidak melihat Minang atau Sumbar saja, tapi daerah yang dengan segala karakteristiknya ini adalah bagian dari Indonesia, bagian dari sistem besar bernegara dan berbangsa. Artinya, kuat ataupun lemahnya suatu wilayah, termasuk Minangkabau, akan berpengaruh besar pada Indonesia secara keseluruhan.

Dalam berbagai literatur dan contoh-contoh negara lain, seperti Jepang atau Bhutan (sebagaimana dikutip Gamawan), mereka terkenal dengan negara yang kuat dan makmur. Kenapa kuat? Karena budaya dasar tetap jadi patokan. Itulah pondasi. Ke atas mungkin terpecah menjadi berbagai ranting dan menjalar kemana-mana, tapi pondasi budaya tak berubah, ia menjadi embrio bagi perkembangan masyarakat. Kuat bangsa karena budaya, dan itu ada di masyarakat.

Di Sumatera Barat, memang perubahan terus terjadi, itu tak bisa dipungkiri. Desakan dan tekanan dari berbagai pihak ekternal, mau tidak mau akan terus menekan keutuhan dan soliditas di Sumbar. Itu hukum alam. Masalahnya adalah seberapa kuat kita mampu bertahan agar pondasi budaya ini tak bergeser, biarlah orang lewat, tapi jalan jangan dialihkan.

Oleh karena itu, TNI yang berbasis di masyarakat, mau tidak mau harus berada pada akar budaya ini. Saya yang saat ini didapuk sebagai pimpinan militer untuk wilayah Sumbar, juga harus memahami karakteristik tersebut, dan itu harus dimulai dari sekarang. TNI yang adalah tentara rakyat, harus dan wajib memiliki kedekatan dengan rakyat. Tak boleh menjauh karena ia akan lemah.

Komitmen adalah kata awal yang dipegang teguh. Komitmen apa, komitmen untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat, bagi seluruh masyarakat Sumbar. Komitmen ini berangkat dari keyakinan bahwa rakyat mampu dan bisa berbuat banyak. Yakin bahwa rakyat pasti mencintai budayanya, mencintai Minangkabau, dan cinta terhadap Indonesia. Ini adalah filosofis dasar, yang kemudian dterjemahkan melalui langkah konkrit sehari-hari.

Membangun negeri ini tak perlu ribet-ribet, asalkan semua diawali dengan komitmen yang kokoh dan teruji. Political will istilah orang sekarang, niaik baiak kata orang Minang. Komitmen inilah yang saya pegang teguh, dan kemudian harus terimplementasikan.

Sedikit berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, basis ekonomi masyarakat Minang ada pada sektor perdagangan dan pertanian. Sektor ini juga yang kemudian berkelindan dengan tatanan adat dan tradisi yang kemudian membentuk budaya sendiri. Berdagang orang Minang berbeda dengan berdagang masyarakat lain, bertani orang Minangpun berbeda dengan daerah lain. Bukankah manajemen rumah makan Padang yang terkenal itu adalah suatu karakteristik tersendiri? Ini khas dan uniknya sebuah daerah, sekaligus identitas yang harus dijaga.

Kembali pada komitmen awal yaitu berbuat sebaik-baiknya untuk rakyat dan menyatu dengan rakyat, maka langkah terus kami jalankan. Sektor pertanian adalah basis mendasar, disitulah juga budaya dan identitas tertancap. Dalam kajian pemberdayaan masyarakat, biasanya terdapat tiga elemen penting bagi rakyat, yaitu kuasa terhadap lahan, kuasa terhadap pengelolaan, dan kuasa terhadap distribusi. Selama ini, rakyat kita mau tidak mau harus diakui terjebak dalam sistem yang melemahkan kekuasaan ini. Mereka bertani, tapi tak punya kuasa terhadap apa yang dilakukannya.

Pertanian menjadi rutinitas, yang hasilnya alih alih meningkat, justru semakin menurun. Ini problem, karena akan berefek luas kemana-mana. Dalam hal ini, salah satu aktifitas tentara, sebagai wujud komitmen, mencoba berbaur dengan masalah yang ada, dan bersama-sama mencarikan solusi.

Saat ini, kami sedang gencar menyasar sektor pertanian masyarakat khususnya di pedesaan. Gunanya apa? Identifikasi masalah serta mencari solusi bersama-sama. Harus saya katakan disini bahwa keunggulan yang dimiliki tentara adalah kreatifitas dan inovasi yang bisa berlangsung secara cepat. Secara organisatoris, tentara memang kaku dan terikat rantai komando, tetapi secara praktis, peluang-peluang kreatifitas sangat banyak untuk dilakukan. Kreatifitas adalah kunci penting, dan itulah yang selalu saya tekankan kepada semua prajurit. Kreatifitas yang ditujukan untuk kebaikan rakyat.

Beberapa hari yang lalu, Korem 032 Wirabraja melakukan sosialisasi program Bios 44 di Agam yang ditujukan bagi seluruh warga. Alhamdullilah respon sangat baik. Antusiasme warga menyeruak, membangun optimisme di masa datang. Bios sendiri adalah bio organisme yang dirancang secara khusus, yang mampu menyuburkan tanah dan juga efektif untuk nutrisi pada pakan ternak. Saat saya bertugas di Sumsel, produk bios ini diciptakan, dan kemudian dipakai untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pada sektor pertanian, harapannya jelas, bisa menurunkan biaya produksi serta menyuburkan tanah yang terlantar ataupun yang dianggap tidak produktif.

Bios bisa diandalkan untuk sektor swasembada pangan. Swasembada pangan hakekatnya adalah berdaulat atas sumber daya alam yang dimiliki. Kuat pada sektor SDA, maka kuat pula sektor pangan. Kekuatan sektor pangan, menandakan kekuatan rakyat itu ada, dan itulah ciri-ciri rakyat berdaulat. Karena itu, aktifitas yang dilakukan tentara saat ini, senyatanya adalah bagian dari membangun kedaulatan tersebut. Dalam hal ini, tentara tentu tak bisa bergerak sendiri. Kerjasama dan koordinasi yang baik dengan pemerintah daerah, seluruh SKPD, tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai, harus dilakukan.

Saya yakin, kedaulatan rakyat ini tidak bisa muncul tiba-tiba atau begitu saja. Kedaulatan harus dibangun, dirancang, dan dikonstruksi. Kedaulatan tak bisa hanya sekedar slogan atau spanduk yang terpampang di pinggir jalan. Kedaulatan harus dibarengi dengan usaha dan proses yang benar. Kedaulatan itupun berawal dari komitmen.

Tak masalah Sumbar berubah, tak ada larangan modernisasi terjadi, tetapi kedaulatan tetap kokoh dan terjaga, karena itu, berbagai inovasi diperlukan seiring dengan perubahan yang berlangsung. Tentu akan menjadi sebuah prestasi dan kebanggaan tersendiri, seandainya berbagai inovasi dan kreatifitas masyarakat terlindungi dan terjaga dengan baik, bahkan dalam bentuk pengakuan secara hukum melalui sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Tentara siap untuk memfasilitasi hal ini, yang nantinya akan menjadi penanda penting kekuasaan rakyat atas inovasinya.

TNI saat ini juga sedang mempersiapkan berbagai produk-produk inovatif yang semuanya insyaallah berguna untuk kebutuhan rakyat banyak. Produk BIOS 44 sudah diluncurkan, yang diharapkan bisa menjembatani kebuntuan soal kualitas lahan dan produktifitas. Produk-produk lain segera disiapkan dan tim siap mengerjakannnya. Tidak hanya sektor pertanian, aspek teknologi juga dimasuki. Menyiapkan masyarakat yang melek teknologi informasipun akan dilakukan. Kenapa ini penting? Karena dalam kondisi sekarang, aspek bela negara dan kedaulatan, memiliki mata rantai yang tak terpisahkan dengan kemajuan teknologi informasi (TI). Masyarakat kita adalah pengguna terbesar teknologi ini, tak terkecuali Sumbar. Bagaimana menjadikan TI sebagai kekuatan bela negara, itulah yang akan dilakukan.

Sekali lagi, Sumbar ataupun Minangkabau adalah bagian dari Indonesia. Memajukan daerah ini adalah bagian penting dalam memajukan bangsa. Kekhawatiran Gamawan Fauzi sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, marilah sama-sama kita jawab dengan kerja bersama, mewujudkan komitmen yang ada. Alam Takambang Jadi Guru, pada filosofis dasar inilah kita kembali, menjadikan alam guru terbaik, tapi tak semata-mata terbuai oleh syahdunya alunan pantun ataupun merdunya alunan saluang dan rabab. Alam itu ada dalam diri kita, bersemayam dalam jiwa kita, pembentuk negara bangsa Indonesia.

Scroll to Top