Oleh : Kunto Arief Wibowo
“Selamat sore Abang.”
“Selamat sore adek-adek, Kam dua dari mana e ? Ko pung kaki berdarah sangat”
“Torang mau maen dong Abang. De dari Honai lewat rawa abang, Torang di gigit lintah e.”
Begitulah celoteh Melan Gombo dengan Tintin Karoba, dua anak Papua, saat kusapa di siang itu. Dua sahabat yang tak terpisahkan selalu datang dan pulang bersama. Rumah mereka sebetulnya diatas sebuah gunung, yang untuk datang ke Pos kami mereka harus berjalan kaki satu
jam, melewati hutan-hutan dan rawa. Kadang kaki kecil mereka berlari agar cepat sampai. Lintah dan Pacet sudah sangat biasa menempel di kaki kecil tanpa alas itu.
Saya bilang ke mereka, “Kam dua kalau main kemari, dong harus pakai sepatu kah sendal kah.”
“Abang, Pace deng Mama tra tau beli sendal, tra tau beli dimana,”ujarnya polos. Saya hanya tersenyum.
Sambil saya obati kakinya, saya bilang ke mereka. “De tadi pagi abang-abang dorang ke kota. Nanti balik dong abang-abang mau bawakan adek dorang sepatu. Ada dorang Mama dari Jawa kirim sepatu untuk dorang semua.”
Mereka begitu gembira sambil melompat-lompat, dan teriak Sepatu Baru, Sepatu Baru!
Tidak sabar mereka menunggu sepatu yang dibawa Abang….
Padahal sejujurnya, mereka tidak mengerti sepatu itu seperti apa.
(Sedikit cerita dari Peltu Syamsul Kamar, anggota TNI yang bertugas di Posramil Eragayam Distrik Eragayam Pegunungan Tengah Papua, 2021).
Papua selalu punya cerita. Pulau Kepala Burung punya banyak kisah yang menunjukkan keunikan masyarakat maupun alamnya. Jika dikumpulkan ragam cerita unik yang berhasil di rekam oleh prajurit-prajurit TNI yang pernah bertugas disana, maka akan tampaklah bahwa Papua sebetulnya sangat menarik, unik, dan sayang untuk dilupakan.
Jujur, jika ukuran kemajuan adalah layaknya kota-kota modern lainnya, harus diakui bahwa Papua memiliki ketertinggalan pembangunan, dibanding daerah-daerah lain di Indonesia,. Disana tak ditemukan ikon-ikon kemajuan dan kemodernan. Kalaupun ada, hanya terpusat di pusat kota besar, seperti Jayapura. Selebihnya, jika masuk ke wilayah lebih dalam, keaslianlah yang akan ditemukan, kepolosan, kesahajaan, sederhana dan apa adanya.
Sangat sering prajurit yang bertugas di pedalaman, didatangi warga setempat, para Mama-Mama (sebutan untuk ibu-ibu) dengan menggendong Noken (tas khusus yang disangkutkan di kepala), hanya untuk menukarkan hasil bumi mereka dengan sesuatu yang mereka perlukan, seperti beras dan mie instan. Tak ada patokan harga di situ, hanya barteran saja, saling percaya dan sama-sama puas dengan nilai yang ditukar.
Tentara yang didatangi anak-anak, hanya sekedar untuk numpang bermain, makan, dan kadang minta dimandikan. Sangat sering.
Jangan bayangkan anak-anak itu adalah warga tetangga yang hanya berjarak satu atau dua rumah. Tidak. Jarak tempuh mereka dengan perjalanan kaki sekitar 1 jam baru sampai di Pos TNI, bahkan ada yang lebih. Tapi tidak sedikit ditemukan, walaupun berjarah jauh (dalam ukuran kita yang tidak tinggal di Papua), mereka justru datang setiap hari. Gile!
Menjadi prajurit di Tanah Papua, adalah masanya belajar dan mengenal keasrian serta keaslian hidup. Lebih banyak sebetulnya adalah bertemu dan berinteraksi dengan keramahan dan kepolosan warga-warga lokal. Warga-warga yang begitu puas dengan pola kehidupannya, berburu hewan ke hutan, bertani subsisten seadanya, mencari bahan makanan di tengah rimba. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tidak lebih atau bahkan terkadang kurang, dan mereka tetap tersenyum.
Itulah bahagia, versi orang Papua.
Sering dikatakan bahwa Tanah Papua adalah hamparan Surga yang jatuh ke bumi, begitu indah dan tenang. Di beberapa sisi mungkin ditemukan gemuruhnya tambang emas, atau ekscavator yang membuat lahan pertanian, selebihnya adalah keheningan, keasrian, kicau burung, dan kecipak air di tingkah lompatan ikan. Dibanyak tempat bahkan masih menyisakan hutan perawan.
***
Pagi itu, kabut tipis pegunungan sisa tadi malam, masih mengepul. Matahari sudah memperlihatkan terangnya, tapi tetap tidak memudarkan gemeretuk tulang terkena sapaan tiupan angin. Cericit burung-burung hutan sudah ramai terdengar.
Suasana Posramil berlangsung seperti biasa. Lambaian Merah-Putih di halaman pos kecil itu tampak gagah berkilauan terkena terpaan Matahari dan hembusan kabut pagi.
Beberapa prajurit berseragam lengkap bergerak menuju ke sebuah wilayah. Seragam tetap dibutuhkan karena segala sesuatu bisa saja terjadi.
Tapi tujuan prajurit sepagi ini, bukanlah untuk operasi militer. Sasaran utamanya adalah sebuah pasar desa, berjarak sekitar 30 menit perjalanan jalan kaki. Berbelanja!
Riuh rendah suara di pasar tidaklah seperti Pasar Bering Harjo, misalnya. Tidak. Ini lebih tepatnya adalah lapangan luas sekitar setengah lapangan bola kaki, kemudian para Mama-Mama menggelar dagangannya berjejer di tengah lapangan. Segalanya ada di situ, setidaknya segala yang ada di sekitar daerah itu. Lebih tepat lagi, segala yang ada di dalam hutan di daerah tersebut.
Babi hutan, talas, ubi kayu, kelapa, kelapa pandan, segala macam umbi-umbian, sayur-sayuran, markisa, pisang, cabe, dan sebagainya, ada di situ. Pembelinya, ya warga lokal dan tentu saja, kami-kami para prajurit TNI. Untuk di pasar, sudah berlaku sistem jual beli, tapi tidak sedikit juga yang masih menerapkan sistem barter. Karena itu, prajurit yang datang sudah mempersiapkan bahan baku untuk ditukar.
Ini bukan soal harga atau soal kebutuhan, tapi terpenting adalah soal jalinan hubungan sosial dengan warga Papua. Siapakah yang bisa merajut hubungan itu di tanah ini? TNI, itulah garda terdepan. Siapa pula warga Indonesia lainnya yang mau datang ke tengah pegunungan ini, selain dari warga Papua itu sendiri, dan tentunya prajurit TNI.
***
Kata “TERIMA KASIH”
Di sebagian wilayah pedalaman Papua, kata ini masih agak asing.
Pernah suatu saat di siang sebuah kampung pegunungan tengah Papua kami menikmati nasi bungkus dari Pos. Seorang anak mendekat sehingga salah satu dari kami memberi satu bungkus nasi.
Anak itu menerima, membuka bungkusnya, memakannya terus beranjak pergi.
Sebenarnya kami juga tidak gila terima kasih. Tetapi kejadian itu cukup mengherankan.
Teman kami bahkan menggodanya dengan berkata, “Ko tidak berterimakasih kah?”
Anak itu berbalik, tertawa tanpa suara dan tetap ngeluyur pergi. Kami hanya bisa saling lihat dan tersenyum.
Tidak sopan? Mungkin iya untuk ukuran kita. Tapi kami berada dilingkungan mereka. Harus belajar memahami tanpa meng-judge apa pun.
Yang kami lakukan setelahnya, adalah memberi contoh. Setiap kali mereka membantu, kami akan mengucapkan terima kasih. Kalau akan menyuruh, kami bilang, “Bisa tolong Abang kah?” Kalau ada salah, kita akan bilang, ‘maaf’.
Dan saat ini, mereka su mulai meniru.
“Terima kasih, Abang,” ucapnya kalau kita kasih biskuit atau nasi jatah, diiringi senyum maut mereka.
Aiiiih… Manis sekali
Sio Mamayo…
(Sepenggal kisah dari Peltu Syamsul Kamar, Posramil Eragayam Distrik Eragayam Pegunungan Tengah Papua, 2021)
Indonesia itu beragam baik budaya, etnis, bahasa, dan bahkan warna kulit. Papua adalah contoh terbaik untuk mengatakan keragaman itu adalah sebuah anugerah. Ada budaya yang berbeda, ada norma yang berbeda, tapi kebaikan itu berlaku universal, karena kita sama-sama manusia.
Momentum 17 Agustus kali ini, di 2024, adalah momentum ke sekian kalinya meneguhkan Papua sebagai bagian nusantaranya Indonesia. Nusantara Baru, Indonesia Maju tidak hanya untuk Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan lainnya, tapi juga miliknya Papua.
Di Papua ada cerita-cerita yang membangun rasa optimis, membangkitkan sisi kemanusiaan, menggali sisi terdalam jiwa manusia.
Indonesia Maju, maju dalam melihat sisi terdalam masyarakat.
Selamat HUT RI ke 79 Tahun.