Oleh : Kunto Arief Wibowo
Wacana tentang pembentukan Angkatan Siber di tubuh TNI agaknya tinggal menunggu waktu. Perintah dari Presiden Joko Widodo kala itu sudah cukup jelas dan TNI sedang melakukan berbagai persiapan. Secara umum, angkatan ini memang dianggap sudah mendesak untuk dibentuk, apalagi karena realitas ancaman pertahanan negara yang memang menunjukkan ancaman siber sebagai sebuah ancaman serius.
Di berbagai negara di dunia memang sudah terlebih dulu menyadari persoalan ini dan bahkan sudah jauh-jauh hari membentuk satuan khusus siber. Singapura, China, AS, Inggris, adalah beberapa negara yang sudah memiliki unit khusus Siber.
Indonesia sendiri sebenarnya secara unit sudah memiliki unsur yang khusus membahas soal ini. Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN) adalah unit yang sudah cukup lama eksis, bahkan sudah dari sejak perjuangan kemerdekaan RI tahun 1945 lalu. Terdapat juga Satuan Siber TNI yang dibentuk sebagai pendukung tupoksi TNI dalam konteks ancaman siber.
Apabila saat ini direncanakan membentuk angkatan khusus (angkatan ke-4 setelah AD, AL, AU), tentu ini dalam konteks untuk lebih memperluas cakupan baik kuantitas maupun kekuatan satuan. Dengan posisi sebagai angkatan ke-4 maka lembaga ini nantinya akan memiliki posisi setara dengan angkatan yang sudah ada. Kekuatannya akan menyebar di seluruh Indonesia lengkap dengan segala sarana prasarana yang dibutuhkan.
Saya tidak akan banyak membahas soal teknis pembentukan angkatan ini, tetapi bisa dilihat pada aspek lain, yaitu keterkaitan dengan semangat generasi-generasi muda untuk berkiprah dalam persoalan siber. Ini perlu jadi catatan karena anak-anak muda yang berkiprah saat ini adalah generasi yang memang dibesarkan dalam kondisi berhamburnya data, kekuatan IT, serta turbulensi informasi yang begitu luar biasa. Merekalah yang paling kuat berpengaruh dan berperan pada kasus ini.
Generasi-generasi muda yang berusia antara 15 – 20 tahun adalah mereka yang saban hari sudah dibiasakan dengan ragam teknologi informasi. Generasi milenial atau Gen-Z istilah kerennya. Mereka akrab dengan sosial media, terbiasa dengan internet, gadget. Di sisi lain, mereka juga cenderung tercerabut dari kekuatan Indonesia, yaitu kesatuan sosial. Hubungan sosial dengan pihak lain relatif tidak sekuat generasi sebelumnya. “Dekat tapi jauh”, kira-kira demikian gambaran hubungan sosial yang terbangun.
Apabila sekarang momentumnya adalah Sumpah Pemuda, sebuah komitmen yang digaungkan jauh sebelum Indonesia merdeka, maka keberadaan generasi muda dengan segala karakteristik yang dimilikinya, menjadi sangat relevan sekali. Tiga aspek sumpah yang dicanangkan (satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa), adalah komitmen yang teramat relevan dalam kondisi sekarang.
Berbangsa satu yang berkomitmen kuat bahwa apapun yang terjadi dan apapun kondisinya, Indonesia adalah bangsa kita, negara kita. Right or wrong, Indonesia is My Country, kira-kira begitu. Ini soal nasionalisme, soal kepemilikan kita tentang Indonesia.
Ancaman siber saat ini jelas sekali mengancam pada sisi ini. Melalui ragam informasi, baik hoax nyata ataupun terselubung, propaganda, semua mengarah pada melunturkan rasa ke-Indonesiaan. Siapa yang disasarnya? Itulah generasi muda, mereka-mereka yang berusia milineal, mereka yang begitu mudah mengakses informasi, tapi relatif lemah dari kekuatan semangat Kebangsaan dan Nasionalisme.
Begitupun konsep Tanah Air, sebuah konsep memang khas Indonesia. Kiranya hanya Indonesia yang bisa mencanangkan kekuatan Tanah dan Air, bukan sebatas Tanah saja, komposisinya juga cenderung berimbang secara fisik. Tanah Air bukan semata-mata batasan fisik, tapi itu juga sebuah kekayaan, identitas, rumah, asal usul, yang menjadi penanda kedaulatan sebuah bangsa. Mampukah generasi muda sekarang berkata, rela berkorban jiwa raga jika ada yang mengambil tanah airku?
Konsep ketiga yang sangat krusial adalah bahasa. Ini juga mendapat ancaman serius dengan perkembangan dunia siber belakangan. Kekuatan media sosial, dimana anak-anak muda berkecimpung di area tersebut, justru dihadapkan dengan ragam bahasa yang mengaburkan identitas ke-Indonesia-an. Bahasa dunia maya kerap dibenturkan dengan bahasa Indonesia yang sebenarnya. Apabila bahasa sudah dikaburkan, apakah identitas masih bisa kita pertahankan?
Oleh karena itu, saat kita bicara soal ancaman Siber, sebenarnya tidak melulu soal keamanan sandi dan data, itu terlalu teknis. Lebih jauh sebenarnya adalah substansi ancaman itu sendiri. Kemampuan pihak luar untuk meretas sebuah sistem, memang berbahaya karena jadi modal untuk memahami kekuatan pihak lain. Andai ini bisa diperkuat dan diamankan, tidak akan ada masalah lagi.
Persoalannya adalah peperangan tanpa harus meretas sistem, yaitu dengan cara menyebarkan propaganda yang mengancam tiga aspek sumpah tadi. Ini tidak perlu mencuri sandi atau cara-cara lain, cukup dengan cara sederhana saja. Ini adalah
ancaman siber terbesar dan melawannya juga tidak mudah. Generasi muda ada pada posisi ini.
Ancaman Siber akan sangat besar dan dinamika serta fluktuasinya sangat tinggi. Untuk inilah adanya angkatan siber sebagai angkatan ke-4, saya pikir bukan semata-mata mengurusi sistem. Bukan sekedar utak-atik algoritma, penguasan pasword dan sebagainya. Personel angkatan siber akan berperang di ranah digital, prajuritnya harus pandai mengolah informasi, melakukan counter attack, paham strategi defensif, paham opini publik, paham pula bagaimana mengolah algoritma menjadi sebuah kekuatan.
Siapa yang mampu melakukan itu?
Itulah anak-anak muda. Mereka sudah terbiasa duduk di depan laptop, bermain dengan jari-jari tangan. Secara teknis mereka sudah punya skill dasar. Tinggal lagi menanamkan tiga aspek sumpah pemuda dalam diri mereka. Lakukan brain wash, maka jadilah mereka sebagai tentara yang lihai bertempur di medan siber.
Mungkin memang benar, investasi untuk angkatan ini akan sangat besar. Padat teknologi, updating secara rutin, sarana prasarana terkini, apalagi mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Tetapi kita tidak bicara saat ini saja. Ini investasi bangsa, investasi untuk keutuhan dan kekuatan Indonesia di masa datang. Hitungannya bukan untung rugi, tapi soal kebangsaan, ketanahairan, dan kebahasaan. Sumpah Pemuda akan menemukan momentumnya, jika gaung persoalan Siber dijadikan semangat bersama.