Oleh : Dr. Alfiandri, S.Sos., M.Si
(Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji)
Sesuai data Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kepulauan Riau terdiri dari 2.408 pulau. Banyak di antaranya merupakan pulau kecil dan terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Letaknya yang strategis di jalur pelayaran internasional seperti Selat Malaka dan Selat Singapura menjadikan wilayah ini penting dalam konteks pertahanan dan keamanan nasional, selain itu pula sebagai titik vital dalam menjaga integritas teritorial, kepentingan ekonomi, dan stabilitas politik kawasan.
Karakteristik geografis tersebut juga menyebabkan tingginya tingkat kerawanan. Beberapa bentuk kerawanan yang tercatat meliputi; pelanggaran wilayah laut oleh kapal asing (illegal fishing dan illegal transshipment), penyelundupan barang-barang ilegal seperti narkotika dan bahan bakar, perdagangan orang (human trafficking) dan migran ilegal, kerentanan terhadap pengaruh budaya dan ekonomi lintas negara yang dapat mengaburkan identitas kebangsaan masyarakat setempat.
Dalam perspektif fenomenologi konflik permanen (permanent conflict phenomenology), kondisi ini mencerminkan bahwa wilayah perbatasan yang tidak pernah sepenuhnya bebas dari konflik. Ketegangan tidak hanya hadir secara fisik atau militer, tetapi juga secara simbolik dan struktural yang mencakup aspek identitas, legitimasi kedaulatan, hingga akses terhadap sumber daya. Di Kepulauan Riau, ketegangan ini bersifat berulang dan dapat menjadi laten jika tidak ditangani melalui pendekatan kebijakan dan pertahanan yang menyeluruh.
Fenomena ini menciptakan ketegangan yang berulang, baik dalam bentuk pelanggaran wilayah oleh kapal asing, kejahatan lintas batas seperti penyelundupan dan perdagangan manusia, ketimpangan pembangunan dan pengabaian struktural oleh negara pusat, hingga ambiguitas identitas kebangsaan masyarakat perbatasan yang secara budaya dan ekonomi lebih dekat dengan negara tetangga. Konflik tersebut bukan insidental, melainkan bagian dari struktur laten yang dibentuk oleh interaksi historis, kebijakan sektoral, dan dinamika globalisasi.
Konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) memberikan dasar normatif dan strategis dalam menjawab tantangan tersebut. Sishankamrata menekankan bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawab seluruh warga negara, yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, masyarakat di wilayah perbatasan tidak hanya menjadi objek perlindungan, tetapi juga subjek yang aktif dalam menjaga keamanan wilayahnya.
Secara filsafati, pertahanan negara memiliki dimensi ontologis (eksistensi negara sebagai entitas berdaulat), epistemologis (pemahaman dan strategi pertahanan kolektif), serta aksiologis (tujuan perlindungan dan keadilan bagi seluruh wilayah negara). Oleh karena itu, pendekatan pertahanan tidak dapat dilepaskan dari upaya pembangunan sosial, penguatan kapasitas warga, dan kehadiran negara di seluruh wilayah, termasuk daerah yang terpencil.
Oleh sebab itu, wilayah perbatasan seperti Kepulauan Riau memerlukan pendekatan lintas sektor yang integratif. Pendekatan ini mencakup, penguatan pengawasan maritim dan udara berbasis teknologi, pembangunan infrastruktur dasar di pulau-pulau kecil, edukasi bela negara dan penguatan identitas nasional di kalangan masyarakat perbatasan, serta koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan aparat pertahanan-keamanan dalam pengelolaan wilayah.
Filosofis Pertahanan sebagai Etika Keberlanjutan Negara
Pemikir seperti Thomas Hobbes (dalam karya bukunya Leviathan, 1651) dan Carl Schmitt (dalam buku The Concept of the Political, 1927 dan Constitutional Theory, 1928) telah menempatkan pertahanan sebagai fondasi legitimasi negara, karena dalam ruang anarki global, negara memiliki hak kodrati untuk mempertahankan diri. Sementara itu, pendekatan modern menggeser makna pertahanan dari semata kekuatan koersif menjadi bentuk perlindungan manusia dan martabat warga negara, sebagaimana ditekankan dalam pendekatan human security.
Secara ontologis, negara dibentuk untuk melindungi eksistensi kolektif warganya melalui jaminan keamanan, keadilan, dan keteraturan. Dalam pandangan filsafat politik klasik, seperti yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes, negara lahir dari kebutuhan manusia untuk keluar dari kondisi “perang semua melawan semua” (bellum omnium contra omnes), sehingga pertahanan menjadi unsur esensial bagi keberlangsungan entitas negara.
Namun dalam konteks modern, pertahanan tidak lagi dipahami hanya sebagai kekuatan militer yang bersifat koersif. Sebaliknya, ia berkembang menjadi bagian dari etika politik dan moral negara, yakni komitmen untuk melindungi hak hidup, martabat, dan eksistensi seluruh wilayah dan warganya secara berkelanjutan. Di sinilah lahir konsep pertahanan sebagai etika keberlanjutan negara.
Etika keberlanjutan dalam pertahanan mengandung tiga pilar utama, yakni; 1) Perlindungan terhadap keberadaan fisik dan kultural masyarakat, 2) Keberlangsungan fungsi-fungsi dasar negara (defense as governance), dan 3) Komitmen negara untuk hadir secara adil dan proporsional di seluruh wilayah, termasuk perbatasan.
Implementasi Sishankamrata sebagai Manifestasi Filosofi Pertahanan Berbasis Rakyat
Sishankamrata merupakan bentuk konkret dari pertahanan yang berakar pada nilai-nilai kolektif masyarakat. Sistem ini tidak hanya melihat rakyat sebagai objek perlindungan, melainkan sebagai subjek aktif dalam sistem pertahanan. Dalam pandangan filsafat tindakan kolektif (seperti dalam pemikiran Habermas), partisipasi masyarakat dalam pertahanan mencerminkan legitimasi deliberatif yaitu ketika rakyat terlibat dalam keputusan strategis negara.
Dalam konteks Kepulauan Riau, implementasi Sishankamrata menunjukkan nilai-nilai ini melalui; pelibatan komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil dalam sistem deteksi dini dan pelaporan, penguatan kesadaran bela negara melalui pendidikan dan pelatihan masyarakat, sinergi antara TNI, pemerintah daerah, dan unsur masyarakat sipil untuk menjaga ketertiban dan keamanan wilayah maritim.
Pertahanan bukan hanya dilaksanakan oleh negara, tetapi dibagikan secara moral dan fungsional kepada masyarakat, selaras dengan prinsip keadilan distributif dalam filsafat moral.
Kepulauan Riau, dengan ribuan pulau yang tersebar dan sebagian besar tidak berpenghuni secara permanen, mencerminkan wilayah yang sangat rentan terhadap pengabaian. Dari perspektif keadilan spasial, ini menjadi isu serius: apakah negara hadir secara seimbang di seluruh wilayahnya?
Hal ini berhubungan dengan prinsip keadilan teritorial (territorial justice) yaitu bagaimana negara memelihara keadilan dan perlindungan secara merata di semua wilayah yurisdiksinya, termasuk yang jauh dan kecil. Implementasi Sishankamrata dalam konteks ini menjadi alat kebijakan strategis sekaligus etis, karena guna menjembatani ketimpangan pembangunan dengan partisipasi lokal.
Konsep kedaulatan negara tidak semata berarti supremasi wilayah, tetapi juga pengakuan dan penghormatan terhadap integritas sosial dan budaya masyarakat di wilayah tersebut. Sishankamrata, dalam hal ini, menjadi instrumen etis untuk memastikan bahwa kedaulatan ditegakkan bukan melalui dominasi, tetapi melalui pemberdayaan dan partisipasi.
Dalam kerangka etika publik, pertahanan berbasis rakyat adalah jalan tengah antara kekuatan koersif negara dan kemandirian masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang berkelanjutan bukan ditentukan oleh kekuatan senjata, melainkan oleh ketahanan kolektif dan keterikatan sosial antara negara dan rakyatnya.
Dengan pendekatan filosofis ini, pertahanan tidak lagi semata dilihat sebagai respon atas ancaman, melainkan sebagai instrumen moral untuk mewujudkan negara yang utuh, adil, dan bertanggung jawab terhadap seluruh wilayahnya, termasuk yang berada di garis depan seperti Kepulauan Riau.
Dari keseluruhan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa Sishankamrata bukan hanya konsep operasional dalam pertahanan negara, tetapi juga merupakan refleksi filosofis tentang bagaimana negara mewujudkan etika keberlanjutan dalam menjaga eksistensinya. Dalam konteks Kepulauan Riau sebagai wilayah perbatasan, implementasi Sishankamrata mencerminkan upaya negara untuk hadir secara nyata, inklusif, dan berkelanjutan dalam menjaga kedaulatan, melindungi masyarakat, serta mengintegrasikan seluruh elemen bangsa dalam sistem pertahanan nasional.
Keberadaan negara bergantung pada kemampuannya mempertahankan wilayah dan masyarakatnya secara utuh. Wilayah perbatasan seperti Kepulauan Riau adalah ujian konkret bagi negara dalam menunjukkan komitmen etis terhadap integrasi teritorial, bukan sekadar simbol politik atau batas administratif.
Implementasi Sishankamrata menegaskan bahwa pertahanan bukan semata domain militer, tetapi adalah tanggung jawab kolektif yang mencerminkan etika partisipatif. Di Kepulauan Riau, pelibatan masyarakat pesisir, nelayan, tokoh adat, dan aparat lokal dalam mendeteksi, merespon, dan mengatasi ancaman merupakan bentuk konkret dari prinsip ini.
Filsafat keadilan menegaskan bahwa masyarakat perbatasan tidak boleh diposisikan sebagai aktor pinggiran dalam pembangunan nasional. Mereka adalah warga negara penuh yang memiliki hak atas perlindungan, kesejahteraan, dan pengakuan budaya. Oleh karena itu, Sishankamrata di wilayah perbatasan harus diiringi dengan kebijakan pemenuhan hak-hak dasar, termasuk akses informasi, pendidikan kebangsaan, serta infrastruktur pertahanan-sipil.
Pada tataran aksiologis, Sishankamrata merepresentasikan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan pertahanan: ketuhanan (niat luhur melindungi kehidupan), kemanusiaan (perlindungan warga), persatuan (sinergi antarelemen bangsa), kerakyatan (partisipasi rakyat), dan keadilan (perlakuan setara bagi seluruh wilayah). Dalam konteks Kepulauan Riau, nilai-nilai ini perlu ditransformasikan ke dalam kebijakan nyata yang membangun solidaritas, kepedulian, dan kepercayaan antara negara dan rakyat di garis depan.
Sebagai rekomendasi untuk Penguatan Sishankamrata di Wilayah Perbatasan, bisa ditegaskan beberapa hal berikut. (1) Etikakan Kebijakan Pertahanan: Seluruh instrumen pertahanan perlu mempertimbangkan dimensi etika publik, hak warga negara, dan keadilan spasial. (2) Kembangkan Narasi Pertahanan Sipil: Perlu narasi baru bahwa rakyat perbatasan bukan hanya penjaga batas, tetapi penjaga kehormatan dan eksistensi negara. (3) Desentralisasi Pertahanan dengan Kontrol Demokratis: Berikan ruang lebih luas bagi aktor lokal untuk berpartisipasi dalam kebijakan keamanan yang menyentuh wilayah mereka. (4) Lakukan Pembudayaan Sishankamrata: Integrasikan nilai-nilai pertahanan rakyat dalam kurikulum pendidikan, media lokal, dan forum masyarakat perbatasan.
Kita dapat memahami bahwa Sishankamrata tidak hanya berfungsi sebagai sistem pertahanan, tetapi juga sebagai pijakan moral, strategi kebijakan, dan sarana integrasi nasional dalam menjamin keberlanjutan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia terutama di wilayah-wilayah perbatasan seperti Kepulauan Riau yang penuh tantangan namun strategis